REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam 14 tahun PT Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya menggandeng Aetra dan Palyja sebagai mitra, sengketa swastanisasi air masih berlanjut. "Permasalahan terletak pada kontrak," ujar Zainal Abidin, Perwakilan Serikat Pekerja Air Jakarta (SPAJ), di Jakarta, Selasa (21/2)
Zainal menjelaskan, warga Jakarta harus membayar air sebesar Rp 7.000 per meter kubiknya. Angka tersebut cukup tinggi. Seharusnya, kata dia, warga Jakarta bisa membayar di bawah angka itu, yaitu sekitar Rp 5.000 per meter kubik.
Dia menilai, dengan biaya air sebesar itu, maka Indonesia menjadi negara yang warganya membayar air termahal di Asia Tenggara. Negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia saja hanya mengenakan biaya Rp 5.000 per meter kubiknya.
DKI mendapat pasokan air dari Purwakarta, yakni dari Jatiluhur, dan dari sungai Cisadane di Tangerang. Pasokannya sekitar 1 juta meter kubik untuk dinikmati semua warga Jakarta.
Permasalahannya, kata dia, sejak adanya swastanisasi, pasokan air jadi tidak stabil. Selama 14 tahun banyak warga dipelosok-pelosok, khususnya masyarakat wong cilik tidak mendapat pasokan air yang benar. "Air ini seperti mengalami perputaran," tambah Zainal. Seperti ada mafia air di dalam kontrak tersebut.