Selasa 28 Feb 2012 16:11 WIB

Hujjatul Islam: Syekh Yusuf Al-Qardhawi, Ulama Progresif yang Kontroversial (1)

Rep: Syahruddin El Fikri/ Red: Chairul Akhmad
Syekh Yusuf Al-Qardhawi
Foto: Republika/Amin Madani
Syekh Yusuf Al-Qardhawi

REPUBLIKA.CO.ID, Di berbagai negara di dunia, nama Dr Yusuf Qardhawi (ada yang menulisnya dengan Yusuf Qaradhawi), sangat populer.

Qardhawi dikenal sebagai ulama yang berani dan kritis. Pandangannya sangat luas dan tajam. Karena itu, banyak pihak yang merasa 'gerah' dengan berbagai pemikirannya yang seringkali dianggap menyudutkan pihak tertentu, termasuk pemerintah Mesir.

Akibat pandangan-pandangannya itu pula, tak jarang pria kelahiran Shafth Turaab, Mesir, pada 9 September 1926 ini harus mendekam dibalik jeruji besi. Namun demikian, ia tak pernah berhenti menyuarakan dan menyampaikan pandangannya, dalam membuka cakrawala umat.

Hingga saat ini, ratusan buku telah ia tulis dan sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia. Buku-buku Qardhawi membahas berbagai hal terkait kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Mulai dari urusan rumah tangga hingga negara dan demokrasi.

Sejak kecil, Qardhawi sudah dikenal sebagai anak yang pandai dan kritis. Pada usia 10 tahun, ia sudah hafal Alquran. Ia menyelesaikan pendidikannya di Ma'had Thantha dan Ma'had Tsanawi. Setelah itu, Qardhawi terus melanjutkan ke Universitas Al-Azhar, Fakultas Ushuluddin, dan lulus tahun 1952.

Namun, gelar doktoralnya baru diperoleh pada tahun 1972 dengan disertasi berjudul "Zakat dan Dampaknya Dalam Penanggulangan Kemiskinan". Disertasinya telah disempurnakan dan dibukukan dengan judul Fiqh Zakat. Sebuah buku yang sangat konprehensif membahas persoalan zakat dengan nuansa modern.

Keterlambatannya meraih gelar doktoral itu bukannya tanpa alasan. Sikap kritislah yang membuatnya baru bisa meraih gelar doktor pada tahun 1972. Untuk menghindari kekejaman rezim yang berkuasa di Mesir, Qardhawi harus meninggalkan tanah kelahirannya menuju Qatar pada tahun 1961. Di sana ia sempat mendirikan Fakultas Syariah di Universitas Qatar. Pada saat yang sama, ia juga mendirikan Pusat Kajian Sejarah dan Sunah Nabi. Ia mendapat kewarganegaraan Qatar dan menjadikan Doha sebagai tempat tinggalnya.

Namun sebelum itu, ia sudah merasakan kerasnya kehidupan penjara. Saat berusia 23 tahun, Qardhawi muda harus mendekam di penjara akibat keterlibatannya dalam pergerakan Ikhwanul Muslimn, saat Mesir masih dijabat Raja Faruk tahun 1949.

Setelah bebas dari penjara, ia lagi-lagi menyuarakan kebebasan. Karena khutbah-khutbahnya yang keras dan mengecam ketidakadilan yang dilakukan rezim penguasa, ia harus berurusan dengan pihak berwajib. Bahkan ia sempat dilarang untuk memberikan khutbah di sebuah masjid di daerah Zamalik. Alasannya, khutbah-khutbahnya dinilai menciptakan opini umum tentang ketidakadilan rezim saat itu.

Akibatnya, tahun 1956 (April) ia kembali ditangkap saat terjadi revolusi di Mesir. Setelah beberapa bulan—pada Oktober 1956—Qardhawi kembali mendekam di penjara militer selama dua tahun. Setelah berkali-kali mendekam di balik jeruji besi, Qardhawi akhirnya meninggalkan Mesir tahun 1961 menuju Qatar. Di Qatar, Qardhawi lebih leluasa mengungkapkan pemikiran-pemikirannya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement