REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU - Kementerian Hukum dan HAM 'melarang' mantan Ketua KPK Antasari Azhar menghadiri pernikahan anak perempuan pertamanya. Atas tindakan tersebut, Komisi III DPR melakukan protes.
Anggota Komisi III DPR RI yang membidangi Hukum dan HAM, Bambang Soesatyo (Fraksi Partai Golkar), Jumat (2/3), menilai, pihak Kemenkum HAM terkesan sudah bersikap keterlaluan menolak permohonan izin Antasari Azhar yang ingin menghadiri pernikahan anaknya.
"Salah satu kebahagian semua orang tua adalah dapat mengantarkan anaknya sampai ke pelaminan. Begitu pun juga dengan harapan mantan ketua KPK Antasari Azhar yang saat ini sedang mendekam di balik jeruji besi LP Tangerang," katanya melalui jejaring komunikasi kepada ANTARA, Jumat (2/3).
Dikatakan, sebagai seorang narapidana (napi), tentu saja mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini harus mengikuti prosedur perizinan agar bisa keluar dari lembaga pemasyarakatan (LP).
Ia mengatakan, pada Sabtu (18 Februari 2012), Antasari Azhar mengirimkan surat permohonan izin kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) untuk dapat menghadiri resepsi pernikahan putri pertamanya. Akad nikah itu, menurutnya, direncanakan berlangsung pada Ahad, 11 maret 2011 bertempat di Balai Sudirman, Tebet, Jakarta.
"Dan surat tersebut dilanjutkan oleh Kalapas kepada Kakanwil Hukum dan Ham (Kumham) Provinsi Banten dan Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM), pada tanggal 21 Februari lalu," tuturnya.
Namun, demikian Bambang Soesatyo, pil pahit harus ditelan mantan orang nomor satu di KPK. Sesuai arahan dari Menkum HAM, ujarnya, Antasari Azhar (AA) tidak boleh dan tak diperkenankan menghadiri acara resepsi pernikahan anak pertamanya.
"Apakah pil pahit tersebut layak diberikan kepada orang yang telah pernah berjasa kepada bangsa dengan memberantas korupsi? Apa alasan Kemenkum HAM tidak memperbolehkan AA menghadiri acara tersebut," tanyanya berulang.
Padahal, menurutnya, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 1999 pasal 41, 42 dan 52, mengatur tentang bolehnya izin keluar LP bagi Napi. "Ke mana hati nurani pihak Kemenkum HAM? Sadarlah, kekuasaan akan ada akhirnya. Apakah Menkum HAM tidak sadar kasus DL Sitorus terkait dugaan suap ke Hakim Mahkamah Agung (MA) bisa saja menjeratnya nanti," tanyanya lagi.
Ia mengungkapkan pula, Tempo sudah mengungkap kasus DL Sitorus dengan lengkap. "Sehingga Negara terindikasi dirugikan dengan Putusan MA yang membiarkan perkebunan sawit yang harusnya dikuasai Negara tetap beroperasi selama empat tahun ini dengan penghasilan Rp5 miliar per-hari," ungkap Bambang Soesatyo lagi.