Selasa 13 Mar 2012 22:00 WIB

SKB Lima Menteri Ancam Guru PNS Kehilangan Jam Mengajar

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Hazliansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Implementasi Surat Kesepakatan Bersama (SKB) Lima Menteri tentang Penataan dan Pendistribusian/Pemerataan Guru PNS dinilai kontradiktif dengan upaya peningkatan mutu pendidikan. Karena SKB ini justru menimbulkan kekacauan dan ketidakharmonisan di antara para pengajar.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti menjelaskan, akibat SKB ini tak sedikit guru yang terancam kehilangan pekerjaan. Bahkan mereka juga terancam dicabut tunjangan sertifikasinya. Menurut Retno, SKB Lima Menteri menimbulkan banyak permasalahan, baik bagi para pengajar maupun bagi para peserta didik.

"Sehingga dikhawatirkan bisa mempengaruhi peningkatan mutu pendidikan di negeri ini," ungkapnya.

Seorang guru, jelas Retno, harus mengajar (tatap muka) minimal 24 jam dan maksimal 40 jam. Ini bisa terjadi akibat rumus yang ditetapkan dalam lampiran SKB Lima Menteri yang memperhitungkan pembulatan ke bawah.

Ia mencontohkan 2 jam Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dikalikan 18 kelas sama dengan 36 jam. Jumlah ini dibagi 24 jam yang hasilnya 1,5. Karena dibulatkan ke bawah, maka menjadi 1. Artinya, sekolah hanya membutuhkan seorang guru PKn yang wajib mengajar 36 atau 18 kelas. Jika diasumsikan satu kelas ada 40 murid, maka seorang guru akan mengajar sedikitnya 720 orang siswa.

"Dengan komdisi seperti ini, apakah kebijakan SKB Lima Menteri tersebut bisa memberikan dampa positif yang berorientasi bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di negeri ini," lanjut Retno.

Implementasi seperti ini, jelasnya, berdampak pada 'pertikaian' horizontal di lapangan akibat perebutan jam mengajar. Selain itu pembulatan ke bawah mengakibatkan banyak guru PNS yang tidak memperoleh 24 jam di tempatnya bertugas. Yang terjadi, para guru semakin tertekan dan menganggap guru lainnya sebagai ancaman. Para guru yang kekurangan jam tentunya tidak bisa menerima hal ini.

Persoalan kian meruncing manakala pembagian jam mengajar juga banyak tidak merujuk pada ketentuan SKB yang dimaksud, karena faktor like and dislike atau lebih pada pertimbangan senioritas. Sudah dapat ditebak, di lingkungan pendidikan sendiri, situasinya cenderung kurang harmonis. Karena situasi yang tidak mengedepankan prestasi dan kompetensi ini.

"Di luar persoalan ini masih banyak dampak implementasi SKB yang bisa menghambat upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini," tegasnya.

Terpisah, Yudi Eviastuti - salah satu pengajar di SMAN 109, Jakarta mengaku menjadi korban akibat implementasi ini. Di sekolahnya, akhirnya ia sama sekali tak mendapatkan jam mengajar.

Hal yang sama juga diakui oleh Slamet Maryanto, guru SMAN 109 Jakarta lainnya. Yang menjadi persoalan pihak sekolah tidak dapat menjelaskan persoalan ini kecuali alasan pembagian tersebut sudah diatur.

"Mungkin karena sikap saya yang terlalu kritis, atau karena sebab lain juga tidak tahu. Karena sekolah sudah mengatur pembagian jadwal ini," ungkapnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement