REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) tidak bisa menerima permohonan Yusril Ihza Mahendra mengenai nasib gubernur Bengkulu nonaktif Agusrin Najamudin.
Yusril mengajukan gugatan sebab kliennya merasa dirugikan terkait Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP yang salah ditafsirkan oleh jaksa penuntut umum (JPU) yang melakukan kasasi atas vonis bebas murni kliennya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, JPU mengajukan kasasi dan Mahkamah Agung (MA) menghukum Agusrin empat tahun penjara.
Ketua MK Mahfud MD mengatakan, adanya berbagai penafsiran terhadap Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP tentang penafsiran putusan bebas murni dan bebas tidak murni adalah bukan kewenangan MK. Menurut Mahfud, MK tidak bisa menilai konstitusionalitas suatu yurisprudensi Mahkamah Agung (MA).
Walaupun dalam beberapa putusan MK telah menyatakan suatu UU bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat karena adanya ketidakpastian hukum yang timbul dari ragam penafsiran suatu norma. Namun, imbuh dia, dalam petitum permohonan pemohon, yang dipermasalahkan bukanlah pertentangan norma suatu UU terhadap UUD 1945, melainkan tafsir-tafsir atas isi suatu UU yang melahirkan yurisprudensi MA.
"Terlebih lagi, permohonan pemohon tidak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga tidak terdapat permasalahan konstitusionalitas," kata Mahfud di Gedung MK, Kamis (15/3).
Gubernur Bengkulu nonaktif Agusrin Najamudin mengajukan uji tafsir Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP ke MK sebagai bentuk perlawanan terhadap Kejaksaan yang melakukan kasasi atas vonis bebas dirinya.
Yusril menjelaskankan, kliennya pada Juni 2011, dibebaskan dari segala tuntutan hukum oleh PN Jakarta Pusat karena dakwaan korupsi tidak terbukti. "Seharusnya perkara Agusrin selesai sampai di situ, karena tidak dimungkinkan adanya upaya banding atau kasasi atas putusan bebas," terangnya.
Namun, langkah JPU mengajukan kasasi membuat nasib Agusrin tidak menentu. Bukan saja tidak dapat menikmati kebebasan sebagaimana putusan pengadilan, tambahnya, statusnya sebagai gubernur yang diberhentikan sementara pun sampai kini belum diaktifkan oleh Mendagri.
Yusril menerangkan, kontroversi kasasi atas Pasal 67 dan 244 KUHAP tersebut sudah berlangsung lebih dari 30 tahun. "Negara ini sudah tidak memiliki kepastian hukum. Hukum dijalankan suka-suka dan menurut selera aparatur penegak hukum," kritik Yusril.