Selasa 20 Mar 2012 20:12 WIB

Wow, Tanah Kraton di DIY Tinggal 1,2 Persen

Rep: Neni Ridarineni/ Red: Chairul Akhmad
Kraton Yogyakarta (ilustrasi).
Foto: Wordpress.com
Kraton Yogyakarta (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – Tanah kraton (Sultan Ground dan Paku Alam Ground) di DI Yogyakarta tinggal 1,2 persen dari luas wilayah DIY, sedangkan tanah seluas 98,8 persen sudah diberikan kepada rakyat.

''Karena itu pendapat yang mengatakan bahwa tanah kraton mencapai jutaan hektar  salah,'' kata salah seorang anggota Tim Asistensi RUUK (Rancangan Undang-Undang Keistimewaan) DIY, Prof Sutaryo, dalam jumpa pers tentang RUUK di Gedung Pracimosono, Kepatihan Yogyakarta, Seasa (20/3).

Hal itu dibenarkan oleh ahli pertanahan di DIY yang juga salah seorang anggota Tim Asistensi, Suyitno. Menurut dia, tanah Sultan Ground Paku Alam Ground (SGPAG)  saat ini luasnya tinggal sekitar 3.518 hektar.

Tanah kraton tersebut ada yang digunakan untuk rakyat, makam pejuang, kantor pemerintah, dan sebagainya. Tanah tersebut tersebar dan tidak setiap desa maupun kecamatan ada tanah SGPAG. Tanah tersebut oleh UU Pokok Agraria (PA) Pasal 56 diakui sebagai tanah adat. 

Menurut Suyitno, selama ini tanah kraton tidak ada bukti sertifikat. Nantinya, setelah ada UU Keistimewaan diharapkan tanah kraton akan lebih jelas statusnya. Namun, dia menambahkan, meskipun kini belum ada bukti kalau dari sejarah ada bukti tanah kraton yakni perjanjian Giyanti, dan di lapangan di desa-desa juga ada tanah SGPAG.

"Karena tanah kraton itu sebagai tanah adat, maka oleh UU PA (Pokok Agraria) tanah kraton itu diakui. Sehingga sebelum tanah adat itu belum ada aturannya, maka pakai aturan yang ada yakni aturan adat," jelas Suyitno.

Sementara itu, Achiel Suyanto, yang juga salah seorang tim asistensi RUUK, mengatakan saat persoalan pertanahan dalam RUUK hanya ada satu pasal. Itu pun substansinya masih diperdebatkan, yakni apakah Kraton Kasultanan dan Kadipaten Paku Alaman ditetapkan sebagai badan hukum atau subyek hukum.

Tim Asistensi berharap agar tanah kraton itu ditetapkan sebagai subyek hukum. "Karena kalau tanah kraton ditetapkan sebagai badan hukum, sewaktu-waktu badan hukum tersebut bisa dibubarkan. Dan rakyat yang akan dirugikan karena akan terbebani harus membayar pajak," kata Achiel.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement