REPUBLIKA.CO.ID, BAMAKO -- Pascakudeta di Mali, pasukan pemberontak Tuareg mulai bergerak ke selatan untuk menempati posisi yang sebelumnya ditempati pasukan pemerintah. Sedangkan pasukan pemberontak di ibukota mencoba untuk menyelesaikan kudeta dengan menangkap presiden.
Pada Rabu (22/3) kemarin, tentara pemberontak menyerang Istana Presiden. Sebelumnya, mereka mengambil alih televisi pemerintah dan menguasai jalan-jalan di Bamako.
Baku tembak sempat terjadi saat pemberontak ingin menguasai istana. Jalan-jalan dipenuhi pasukan pemberontak yang berkeliling di ibukota dengan menggunakan truk, sepeda motor dan berjalan kaki. Kantor berita Cina Xinhua melaporkan, sejumlah korban jiwa berjatuhan saat pengambilalihan tersebut.
Saat ini Mali dilaporkan dalam kondisi kacau. Pasukan pemberontak yang mabuk menembakkan senjata ke berbagai arah. Puluhan ribu penduduk yang ketakutan melarikan diri.
Keberadaan Presiden Mali, Amadou Toumani Toure hingga kini belum diketahui. Namun, Kapten Amadou Haya Sanogo yang memimpin kudeta mengatakan Toure dalam keadaan sehat dan selamat. Tapi hingga kini belum jelas apakah Toure disandera atau bersembunyi.
Sejumlah diplomat mengatakan, Toure dilindungi oleh tentara yang setia padanya. Tentara pemberontak mengatakan, mereka akan menyerang resimen parasut yang diyakini melindungi presiden.
Seorang petugas Mali di kota Kidal mengatakan, pemberontak telah menduduki kamp militer di Anefis setelah pasukan pemerintah mundur.
Jumlah pemberontak MNLA makin lama makin bertambah. Mereka mulai melakukan perlawanan sejak pertengahan Januari menuntut kemerdekaan wilayah utara. Mereka berhasil mengusir pasukan pemerintah dari kota-kota terpencil.
Toure (63 tahun) merupakan mantan penerjun payung. Ia menjadi presiden dalam kudeta pada 1991 silam. Ia tengah bersiap-siap menyerahkan kekuasaan pada April setelah pemilihan umum.
Negara tetangga, PBB dan sejumlah negara Barat mengecam kudeta tersebut dan menyerukan dikembalikannya konstitusi. Badan pembuat keputusan regional ECOWAS mengatakan tidak akan mengakui junta.
Sanogo yang juga pemimpin Komite Demokrasi dan Restorasi Negara (CNRDR) mengatakan ketidakpuasan terhadap penanganan konflik di utara merupakan alasan utama kudeta.
Sanogo yang mengklaim telah menerima pelatihan dari marinir dan intelijen Amerika Serikat berjanji tidak akan berkuasa. Namun, ia menolak memberikan jangka waktu untuk memulihkan kekuasaan sipil. "Kami meminta kehidupan yang lebih baik dan kami akan berjuang untuk itu," ujarnya, Jumat (23/3).
Mengembalikan otoritas negara di utara, kata Sanogo, merupakan prioritasnya. Sanogo mengindikasikan para pejabat negara yang ditahan akan diadili. "Situasi ini serius bagi demokrasi kami," kata mantan Presiden Majelis Nasional Mali Ali Nouhoum Diallo.
Pernyataan mengenai kondisi terakhir Mali muncul dalam akun Twitter resmi pemerintah. Dalam akun tersebut tertulis yang terjadi bukanlah kudeta melainkan pemberontakan.