REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) DPR RI, menilai terpilihnya opsi penambahan Pasal 7 ayat (6) A adalah keluar dari harapan publik. Dalam hal itu F-PKS menganggap para fraksi yang mendukung adanya penambahan ayat tersebut tidak pernah peka terhadap apa yang diinginkan masyarakat.
Menurut Juru Bicara F-PKS DPR RI, Abdul Hakim, keputusan Paripurna, Jumat (30/3) malam, hanya sekadar dagelan politik citra. "Seolah-olah mereka mendukung BBM tidak naik pada 1 Arpil nanti. Padahal secara ekplisit, mereka mendukung pemerintah untuk menaikkan harga BBM dalam waktu 6 bulan ke depan," ujar Hakim, Sabtu (31/3).
Karena itu dalam menegakkan kebenaran dan menjawab kebutuhan rakyat, kata Sekretaris F-PKS ini, diperlukan sikap politik yang tegas; penaikkan bahan bakar minyak (BBM) mencederai aspirasi rakyat. Karena itu, pihaknya menilai bahwa pembelaan terhadap kepentingan rakyat jauh lebih penting ketimbang loby-loby, negoisasi, dan kompromi upeti politik yang menisbikan rakyat.
Hakim menuturkan, asumsi kenaikan subsidi BBM yang sebesar Rp 55,1 triliun—dari Rp 123,6 triliun menjadi Rp 178,7 triliun—terjadi defisit APBN sebesar Rp 55,1 triliun yang harus disehatkan.
"Petanyaan kami, bila pemerintah memiliki dana cadangan sebesar Rp 55,1 triliun, kan tidak perlu dinaikkan. Caranya dengan melakukan efisiensi di setiap departemen, ditambah dengan menggenjot penerimaan dalam negeri (PDN) yang diambil dari kenaikan harga Migas yang ditengarai sekitar Rp 46,8 triliun," kata dia.
Karena itu, F-PKS menilai 'drama politik paripurna' DPR hanya lebih menekankan pada pertukaran kompromi politik elit dan potret lemahnya pengawasan parlemen sebagai lembaga kontrol terhadap kebijakan pemerintah yang populer tetapi tidak populis; menaikkan BBM dan pemberian dana kompensasi.
Alokasi kompensasi pengurangan subsidi BBM berdasarkan sumber pemerintah dalam RAPBNP 2012, kata Hakim, yakni sebesar Rp 30,60 triliun. Yang terbagi dalam alokasi BLSM (Bantuan Langsung Swadaya Mandiri), subsidi angkutan umum, subsidi Raskin (3,5 jt keluarga x Rp 1.500 x 14 bulan), dan subsidi pendidikan miskin.
Menurut dia, bila BBM dinaikkan sebesar Rp 1.500 per liter, maka asumsi penerimaan negara sebesar Rp 43,09 triliun. Sedangkan program kompensasi pengurangan subsidi sebesar Rp 30,60 triliun.
Karena itu, lanjut dia, pemerintah hanya menerima sisa penerimaan dari alokasi kenaikan BBM ini sebesar Rp 12,49 triliun. "Dengan tambahan dana Rp 12,49 triliun sebenarnya tidak menyebabkan APBN jebol," ujarnya.
Karena itu, pihaknya mengaku akan tetap istiqomah dalam menolak rencana pemerintah menaikkan harga BBM. "PKS tetap istiqamah dalam menolak penambahan pasal 7 ayat (6)," kata dia.