REPUBLIKA.CO.ID,Jagad perfilman barangkali saat ini tengah riuh oleh meroketnya " Hunger Games", film saduran novel dengan judul serupa dari Suzanne Collins. Tapi percayalah, Anda akan kehilangan setengah kesenangan jika melewatkan novel trilogi ciamik ini.
Seperti filmnya, trilogi Hunger Games (Hunger Games, Catching Fire, dan Mockingjay), berceritera tentang suatu waktu nun di masa depan dimana kemanusiaan mengalami musibah maha dahsyat. Dari musibah itu, sebagian daratan di Amerika Serikat yang masih bisa ditinggali membentuk negara baru: Panem.
Panem ini terdiri dari satu ibukota, bernama Capitol, dengan 13 distrik yang mengelilinginya. Suatu waktu, 13 distrik ini memberontak, namun bisa dikalahkan. Dari situ, Capitol membentuk permainan bernama Hunger Games dimana dua remaja dari masing- masing distrik "dipanen" secara acak untuk saling bunuh sampai tersisa satu juara.
Lewat permainan ini, Capitol hendak menunjukkan kuasanya atas kehidupan seluruh distrik. Jagoan kita, seorang gadis, Katniss Evergreen adalah salah satu peserta yang sukarela ikut menggantikan adiknya yang terpilih secara acak. Sisanya silahkan membaca sendiri.
Novel yang ciamik, tentu tak bisa terlalu jauh melenceng dari kenyataan. Kemudian bagaimana trilogi Hunger Games ini bisa relevan jika dia mengambil latar dan waktu yang sama sekali khayal? Disinilah cerdasnya Suzanne.
Ditujukan untuk remaja, Suzanne pintar sekali menyelipkan petunjuk-petunjuk tentang sifat asli Amerika kepada pembaca yang lebih cermat. Dalam satu dan lain hal, novel ini adalah kritik tentang cara pandang orang Amerika yang kemudian ditularkan ke seluruh dunia.
Lihat kompetisi Hunger Games. Ia sedikit sekali bedanya dengan rerupa kompetisi televisi produksi Amerika yang kita lahap dengan rakus. Bagaimana motiv para peserta dieksploitasi untuk meninggikan rating, bagaimana para kontestan dimanipulasi supaya lebih ramah kamera dan jadi kesayangan penonton, bagaimana pada akhirnya, seperti semua kompetisi televisi, harus ada yang "terbunuh."
Jika anda berpikir bahwa kompetisi yang melibatkan baku bunuh dan menyakiti satu sama lain terlalu sadis, kenyataannya, demikianlah yang dinikmati rakyat Amerika. Mulai dari saling tabrak di Football, baku pukul di liga hoki es, gulat tipu-tipu di WWF, kelahi beneran di UFC, sampai videogame yang mengajarkan semakin banyak kita membunuh, semakin tinggi nilai kita. Pada akhirnya, ada itu Irak dan Afghanistan. Kekerasan sejatinya tak pernah jauh-jauh dari Amerika Serikat.
Suzanne juga menyiratkan perpolitikan Amerika, dimana tak ada benar dan salah. Yang ada hanyalah sekelompok orang yang berebutan cari kuasa dengan berbagai alasan yang nampaknya mulia.
Keunggulan novel ini dari film-nya, ia diceritakan dengan sudut pandang orang pertama, yakni Katniss. Banyak perenungan Katniss yang sukar ditangkap kamera untuk film. Karakter-karakter dalam buku juga jadi lebih hidup dan kuat melalui penilaian Katniss.
Jika pembaca muda menemukan bahwa 1984-nya George Orwell terlalu jauh dari konteks dunia yang mereka tinggali sekarang, ada baiknya menengok Hunger Games. Ini karya yang bagus, dan lebih penting lagi, relevan.