REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meskipun tiga orang terdakwa perkara suap program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah Transmigrasi (PPIDT) telah divonis, namun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan tidak akan berhenti mengusut kasus ini. Terbuka kemungkinan KPK akan membuka penyelidikan baru dalam kasus ini.
"Kalau dalam proses banding (putusan Dadong dan I Nyoman Suisnaya) kita temukan bukti, baru bisa dibuka penyelidikan baru," kata Juru Bicara KPK Johan Budi saat dihubungi, Ahad (1/4). Johan mengatakan, saat ini putusan Dadong dan I Nyoman tengah dikaji. Yang jelas, KPK tetap akan mengajukan proses banding terhadap putusan itu. .
Pekan lalu, majelis hakim Pengadilan Tipikor masing-masing menjatuhi putusan pidana penjara tiga tahun dan denda Rp 100 juta subsider tiga bulan penjara kepada Dadong Irbarelawan dan I Nyoman Suisnaya. Padahal, oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Dadong dituntut lima tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider enam bulan penjara. Sedangkan I Nyoman, dituntut hukuman empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan penjara.
Sebelumnya, pihak penyuap, Dharnawati, divonis pidana penjara selama 2,5 tahun dan denda sebesar Rp 100 juta subsider kurungan selama 3 bulan. Sebagai pengusaha, Dharnawati dinyatakan terbukti memberikan suap kepada dua pejabat Kemennakertrans agar mendapatkan proyek PPIDT tersebut.
Selain putusan yang jauh dari tuntutan JPU KPK tersebut, majelis hakim dalam amar putusan kepada kedua terdakwa itu juga tidak menyebutkan bahwa uang Rp 1,5 miliar yang merupakan commitment fee dari kuasa hukum PT Alam Jaya Papua, tidak disebutkan untuk Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar. Padahal, baik dalam dakwaaan dan tuntutan, disebut bahwa uang fee itu diperuntukkan untuk Muhaimin.