Ahad 08 Apr 2012 08:01 WIB

Pengadilan Setengah Hati Tokoh Khmer Merah

Hun Sen
Foto: ctv.ca
Hun Sen

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Teguh Setiawan/Wartawan Senior Republika

Tahun 1998, Hun Sen mengundang Noun Chea dan Khieu Samphan untuk minum bersama. Kini muncul spekulasi pengadilan terhadap tokoh Khmer Merah hanya sandiwara internasional.

Februari lalu, Extraordinary Chambers of the Courts of Cam bodia (ECCC) – pengadilan luar biasa yang dibentuk pemerintah Kamboja dan mendapat dukungan PBB – menjatuhkan hukuman 35 tahun penjara bagi Kaing Guek Eav. Duch, demikian sang komandan Tuol Sleng dijuluki, dinyatakan bersalah menyiksa sampai mata 14 ribu rakyat Kamboja selama empat tahun kekuasaan Khmer Merah.

Francois Ponchaud, misionaris yang mengungkap kekejaman Khmer Merah lewat buku Year Zero, bereaksi. Menurutnya, PBB tidak punya hak moral untuk memberi dukungan terhadap ECCC – atau bahkan mengadili – tokoh-tokoh Khmer Merah, karena selama 14 tahun mendukung rejim Pol Pot dengan alasan geopolitik era Perang Dingin. Jauh sebelumnya, sejumlah wartawan juga mendokumentasikan keterlibatan AS dalam mendukung rejim Pol Pot. John Pilger dalam The Long Secret Alliance: Uncle Sam and Pol Pot menulis;

“AS tidak hanya menciptakan situasi bagi Khmer Merah untuk berkuasa, tapi juga secara aktif mendukung Pol Pot secara politik dan financial. Januari 1980, AS diam=diam mendanai pasukan Pol Pot di perbatasan Thailand. Se lama enam tahun, antara 1980 sampai 1986, AS mengeluarkan 85 juta dolar untuk membantu Khmer Merah.”

Jack Colhoun dalam On the side of Pol Pot: U.S. Supports Khmer Rouge menulis; “Ray Cline, mantan deputy director CIA, mengunjungi Pol Pot di kamp perbatasan Kamboja. Kementerian Luar Negeri AS menolak berita ini. Pemerintah Thailand membenarkan, dan perwakilan Khmer Merah di PBB merilis laporan kunjungan itu.” Lalu siapa pemilik hak mo ral, atau paling berhak mengadili tokoh-tokoh Khmer Merah? Pemerintah Kamboja saat ini?

ECCC dibentuk pemerintah Kamboja tahun 2006, dengan dukungan dana lebih 150 juta dolar dari PBB. Namun, setelah lima tahun bekerja, pengadilan baru bisa memvonis Duch – yang notabene bukan tokoh level atas Khmer Merah.

Ketika Duch diajukan ke pengadilan, muncul ketegangan di Kamboja. Sebagian mantan prajurit Khmer Merah berharap Duch mengungkap semua yang diketahui pada periode 1975-1979. Sedangkan mantan prajurit Khmer Merah lainnya yakin Duch tidak tahu apa-apa, dan tidak akan ada kesaksian berarti dari komandan Tuol Sleng ini.

Yang terjadi adalah Duch hanya mengatakan dirinya tidak bersalah dan minta dibebaskan. ECCC memiliki alasan cukup untuk memvonisnya bersalah dan menjatuhkan hukuman.

Kini, ECCC berusaha menyeret Nuon Chea, Ieng Sary, dan Khieu Samphan. Chea mungkin target pertama. Rakyat Kamboja kini menunggu apa yang akan dikatakan Chea di depan pengadilan.

                                                                   ***

Sambath, dan mungkin seluruh korban kekejaman Khmer Merah, berharap Chea bicara blak-blakan agar semua tahu apa yang terjadi antara 1975-1979. Namun, menurut Brad Adam, pengadilan yang fair terhadap Chea, Samphan, dan Sary, akan sangat berisiko bagi PBB dan pemerintah Kamboja saat ini – yang notabene diperintah mantan anggota Khmer Merah.

Sejak semula, menurut Adam, ada keraguan ECCC mampu menyelenggarakan pengadilan yang fair terhadap seluruh petinggi Khmer Merah. Jika harus fair dan bebas campur tangan rejim Kamboja saat ini, ECCC – yang nota bene didanai PBB – harus memanggil Hun Sen, Chea Sim, dan Heng Samin, serta mantan anggota Khmer Merah yang saat ini berkuasa.

Adam juga menulis pengadilan yang fair terhadap Chea, Samphan dan Sary, sangat berisiko. Reputasi pemerintah Kamboja dan PBB di pertaruhkan. Jika ketiganya bicara blak-blakan, rakyat Kamboja akan menuntut penjelasan peran Hun Sen, Heng Samrin, dan Chea Sim, dalam pembantaian.

Terdapat indikasi Hun Sen telah mengatur bagaimana pengadilan terhadap tokoh-tokoh Khmer Merah, yang ditunding sebagai arsitek pembantaian, sejak lama. Tahun 1998, Hun Sen mengudang Chea dan Samphan ke kediamannya. Ketiganya bersulang, dan Hun Sen mengatakan; “Kita harus mengubur masa lalu.”

Muncul spekulasi, Hun Sen lebih suka melihat ECCC gagal menyelenggarakan pengadilan yang fair, demi melindungi dirinya dan mantan anggota Khmer Merah yang berkuasa saat ini. Spekulasi yang lebih menarik; Hun Sen meminta tidak bicara blak-blakan, alias membuka ‘aib’.

Hun Sen tahu apa yang harus dilakukan. Ia mengintervensi pengadilan. Ini terlihat ketika hakim penyidik Kamboja dan PBB mengakhiri upaya penuntutan terhadap beberapa tokoh ‘tambahan’ tanpa mewawancarasi sejumlah saksi kunci.

                                                              

                                                                   ***

Langkah ini mendapat kritik dari dalam. Salah seorang hakim asal Swiss yang ditugaskan PBB di ECCC mengundurkan diri. PBB berusaha mengakhiri persoalan ini de ngan menunjuk hakim baru. Sambath tampaknya telah mengantisipasi kemungkinan pengadilan tak berjalan fair. Ar tinya, Chea, Samphan, dan Sary, tidak sudi menceritakan apa yang terjadi antara tahun 1975- 1979, dan apa yang menyebabkan terjadinya pembantaian.

Di surat kabar Guardian, Sambath menulis; “Jika kebenaran tidak muncul di pengadilan, maka kami akan mengungkapnya dengan cara lain.” Karena, masih menurut Sambath, hanya kebenaran masa lalu yang membuat rakyat Kamboja bisa melakukan rekonsiliasi.

Kebenaran yang dimaksud Sambath adalah konflik internal di tubuh Khmer Merah yang memicu pembantaian. Dari sini akan terlihat siapa pembantai sebenarnya; Pol Pot dan antek-anteknya atau sempatan Khmer Merah ma cam Hun Sen, Chea Sim, dan Heng Samrin.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement