REPUBLIKA.CO.ID, BAMAKO---Presiden Mali Amadou Toumani Toure, yang digulingkan dalam kudeta militer bulan lalu, secara resmi mengundurkan diri, demikian diumumkan penengah internasional dalam krisis itu, Ahad (8/4). "Kami baru saja menerima surat pengunduran dirinya," kata Menteri Luar Negeri Burkina Faso Djibrill Bassole kepada wartawan setelah pertemuan dengan pemimpin terguling Mali itu di Bamako.
"Kami akan memberi tahu pihak berwenang mengenai hal itu" sehingga pengunduran dirinya bisa diproses secara resmi dan langkah-langkah yang tepat diambil, katanya.
Pengunduran diri Toure itu membuka jalan bagi kepergian junta yang menggulingkannya. Menurut ketentuan perjanjian transisi yang dicapai dengan blok Afrika Barat ECOWAS pada Jumat malam, para pemimpin junta akan mengundurkan diri untuk memungkinkan pemulihan demokrasi jika Toure secara resmi meletakkan jabatannya.
Perjanjian itu juga menetapkan pencabutan sanksi-sanksi yang diterapkan oleh ECOWAS yang sudah mulai berlaku dan pemberian amnesti bagi mereka yang terlibat dalam kudeta itu.
Menurut perjanjian tersebut, ketua parlemen Dioncounda Traore akan menjadi presiden sementara dengan tugas menyelenggarakan pemilihan umum, bila mungkin dalam waktu 40 hari.
Ia juga harus berusaha mengatasi pemberontakan di separuh Mali di wilayah utara, yang dikuasai gerilyawan Tuareg dan kelompok muslim garis keras.
Gerilyawan Tuareg mengeluarkan deklarasi kemerdekaan pada Jumat, yang ditolak tidak saja oleh masyarakat internasional namun juga oleh kelompok muslim garis keras sekutu mereka.
Kudeta pasukan yang tidak puas pada bulan lalu dimaksudkan untuk memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja.
Ahad (1/4), gerilyawan Tuareg menyatakan telah menguasai kota gurun Timbuktu, benteng terakhir pemerintah di Mali utara.
Dalam sebuah pernyataan yang mengumumkan "berakhirnya pendudukan Mali", Gerakan Pembebasan Nasional Azawad (MNLA) mengatakan, mereka akan menjamin "ketertiban dan pemerintahan".
Timbuktu adalah kota besar terakhir yang jatuh ke tangan suku Tuareg dan gerilyawan muslim garis keras. Kota yang berpenduduk sekitar 50.000 orang itu adalah lokasi warisan dunia PBB dengan julukan "mutiara gurun".
MNLA menyatakan lagi, mereka "tidak memiliki hubungan dengan kelompok muslim garis keras dan... tujuan mereka adalah Azawad, rakyatnya dan kemerdekaannya". MNLA pada pertengahan Januari meluncurkan lagi perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan bersenjata berat yang belum lama ini kembali dari Libya.
Ikut bergabung dengan mereka adalah tokoh Tuareg terkenal Iyad Ag Ghaly, yang memimpin pemberontakan pada tahun 1990-an dan kembali sebagai pemimpin Ansar Dine, yang memiliki hubungan dengan Al-Qaida di Maghribi Islam.
Kedua pihak yang berperang itu memiliki hubungan yang mendua, namun MNLA menjauhkan diri dari tuntutan Ag Ghaly agar hukum sharia Islam diberlakukan di Mali.
Dalam serangkaian serangan kilat terhadap kota-kota di selatan, gerilyawan Tuareg berhasil mengatasi militer Mali, sementara sebuah kelompok pasukan pembangkang menggulingkan Presiden Amadou Toumani Toure karena "ketidakmampuannya" dalam menangani konflik.
Angkatan bersenjata Mali telah lama mengalami kemunduran dan dalam posisi bertahan ketika mereka menghadapi kekerasan-kekerasan Al-Qaida di Maghribi Islam (AQIM) dan pemberontakan Tuareg di wilayah gurun utara luas, yang menjadi ajang penyelundupan narkoba dan senjata serta penyanderaan warga Barat.