REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bersikap aktif dan siap mengusut informasi yang disampaikan Wa Ode Nurhayati terkait dugaan keterlibatan Wakil Ketua DPR Anis Matta dalam kasusnya.
"Informasi atau data akan ditindaklanjuti, sejauh informasi dan data itu valid, dari siapa pun," kata Juru Bicara KPK Johan Budi di kantornya, Rabu (18/4).
Johan juga mengatakan, jika informasi yang disampaikan itu terkait dengan kasus suap itu, maka pihaknya akan mengkaji secara lebih serius. "Apalagi jika informasi itu bisa membantu pengembangan kasus itu sendirii," ujar Johan.
Tersangka suap Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) Wa Ode Nurhayati tidak terima tuduhan bahwa ia menyalahgunakan wewenang dana proses pembahasan DPPID.
Tidak mau disalahkan begitu saja, Wa Ode selain menyebut keterlibatan pimpinan Badan Anggaran (Banggar) DPR dalam tuduhan itu, juga menyebut Wakil Ketua DPR Anis Matta sebagai pihak yang harus bertanggung jawab.
"Jika saya dituduh menyalahgunakan wewenang terkait dengan jabatan saya sebagai anggota Banggar, saya menegaskan bahwa dalam kasus DPPID ini jelas yang menyalahgunakan itu adalah dalam proses surat menyurat. Itu jelas pelakunya siapa mulai dari Pak Anis Matta, di mana Pak Anis Matta yang memaksa meminta Menteri Keuangan untuk menandatangani surat yang bertentangan dengan keputusan rapat Banggar," kata Wa Ode usai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (18/4).
Wa Ode menjelaskan, pelanggaran prosedur yang dilakukan Anis Matta dan pimpinan Banggar sudah jelas. DPPID itu sudah jelas diperuntukkan kepada daerah-daerah yang layak menerimanya. Namun, secara sepihak semua kriteria itu diruntuhkan tanpa melalui rapat panja (panitia kerja) lagi oleh pimpinan Banggar dan kemudian dilegitimasi oleh Anis Matta.
"Jadi Pak Anis Matta yang merupakan pimpinan DPR yang membidangi anggaran tentunya beliau harus bertanggung jawab," kata Wa Ode.
Dalam kasus ini KPK telah menetapkan Wa ode dan pengusaha Fahd Arafiq sebagai tersangka. Keduanya dicegah ke luar negeri oleh KPK bersama Haris dan staf Wa Ode bernama Sefa Yolanda. Dua nama terakhir berstatus sebagai saksi. Wa Ode diduga telah menerima suap sebesar Rp 6,9 miliar dari Haris Surahman, kader Partai Golkar lainnya.
Uang itu disebut milik Fadh yang diberikan Haris kepada Wa Ode melalui stafnya, Sefa Yolanda, serta seorang lagi bernama Syarif Achmad. Uang tersebut dikirim ke rekening Bank Mandiri sebanyak sembilan kali transfer pada 13 Oktober sampai 1 November 2010. Uang ditransfer sekali sebesar Rp 1,5 miliar, dua kali sebanyak Rp 1 miliar, empat kali transfer Rp 500 juta, dan dua kali sebesar Rp 250 juta.
Pemberian uang tersebut dimaksudkan agar Fadh dan Haris mendapatkan proyek pada tiga kabupaten di Aceh, yaitu Aceh Besar, Pidie Jaya, dan Bener Meriah, serta Kabupaten Minahasa di Sulawesi Utara. Deal yang terbangun, Wa Ode akan memperjuangkan daerah itu agar masing-masing mendapatkan alokasi anggaran DPID sebesar Rp 40 miliar.
Namun belakangan, pada penetapan daerah penerima DPID, hanya dua kabupaten yang diakomodasi, Aceh Besar sebesar Rp 19,8 miliar dan Bener Meriah Rp 24,75 miliar. Fadh dan Haris kemudian menagih Wa Ode agar mengembalikan uang itu.