REPUBLIKA.CO.ID, Tel Aviv mungkin lebih dekat dari Gaza, tapi perjalanan melewati checkpoints militer Zionis Israel yang harus ditempuh Randa untuk setiap kali berobat dengan ditemani seorang kerabat perempuannya, sungguh tidak mudah. Pada suatu kali, tentara-tentara pengecut yang berjaga di salah satu checkpoint memaksanya turun dari kendaraan untuk menggeledahnya.
Harap diketahui, semua orang Zionis Israel takut kepada orang Gaza – dari bayi hingga nenek-nenek – dan mencurigai semua orang Gaza sebagai penyelundup senjata.
“Kukatakan, aku sakit. Aku ke Tel Aviv untuk berobat,” tutur Randa dengan nada biasa. “Tapi mereka tidak percaya. Aku katakan, aku ini sakit kanker! Mereka tidak percaya. Dengan kasar mereka menyuruhku turun. Lalu aku dibawa ke sebuah tempat, dan dipaksa membuka semua bajuku. Sampai salah seorang mereka melihat bekas-bekas luka di dadaku. Barulah dia sadar. Lalu berhenti menggeledah. Dan bilang, ‘I’m sorry’.”
Ketika menceritakan penghinaan tentara-tentara Zionis itu terhadapnya, Randa tidak kemudian bercucuran airmata dan meratap-ratap. Nada suaranya tidak jadi berubah. “Alhamdulillah, semua ini baik,” tuturnya. “Ujian dari Allah ini pasti ada hikmahnya. Insya-Allah ini membuat imanku lebih kuat, membuatku lebih bergegas mendidik dan membesarkan anak-anak jadi orang-orang terbaik.”
Randa dan suaminya, Abu Usamah, adalah dua orang sabar dari begitu banyak orang sabar yang ditemui relawan SA di Gaza. Randa yang dilahirkan di Mesir pada tahun 1973 lalu dibawa hijrah oleh ayah ibunya ke Aljazair serta tinggal dan belajar di sana selama 20 tahun, mahir berbahasa Prancis. Keluarga Randa kembali ke Palestina pada tahun 1995 dan setahun kemudian Randa pun menikah dengan Abu Usamah, seorang perwira di kepolisian Gaza.
Mereka tinggal di sebuah rumah mungil yang mereka kontrak dengan harga US$ 350 sebulan. Sebelum sakitnya, Randa sibuk membantu suaminya mencukupi kebutuhan rumah tangga dengan cara membuka salon perawatan rambut. Allah menetapkan bahwa pada tahun 2008, beberapa waktu sebelum penyerangan Zionis Israel ke Gaza, Randa sempat mengikuti seminar kesehatan wanita dan belajar cara memeriksa payudara sendiri.
Pada November 2009, hanya beberapa bulan sesudah penyerangan dengan bom fosfor putih, Randa merasa ada yang tak biasa di payudara kirinya. Dia menemukan bengkak dan sesuatu yang mirip kantong cairan di situ. Abu Usamah membawanya ke rumah sakit untuk serangkaian pemeriksaan laboratorium dan scanning. Mereka berutang untuk membayar seluruh biaya pemeriksaan ini.
Hasil pemeriksaan? Kanker. Randa harus menjalani mastektomi – pengangkatan seluruh payudaranya. Diikuti dengan serangkaian kemoterapi. Dengan sabar, Randa menjalani semua proses yang menyakitkan itu. Dia yakin, Allah punya rencana terbaik. “Saya hanya berdoa bahwa Allah akan membalas semua yang saya alami ini dengan pahala yang besar dan beratnya timbangan kebaikan untuk kami di Akhirat nanti,” tuturnya perlahan.
Tak lama sesudah operasinya, Randa berusaha kembali bekerja. Bahkan dengan lebih bersemangat karena ingin segera bisa membayar utang-utangnya. “Namun hanya dua setengah bulan sesudah operasi itu, saya menemukan lagi bengkak cairan di tempat yang sama.”
Para dokter dibuat terkaget-kaget oleh kecepatan kembalinya penyakit ini. Maka diputuskanlah operasi pengangkatan yang kedua, yang juga memakan biaya yang sama dengan operasi yang pertama yakni sekitar 900 dolar AS. “Rasa sakit di dada sesudah operasi yang pertama belum lagi hilang, saya sudah harus dioperasi lagi.”
Dokter menyatakan, Randa harus menjalani lagi kemoterapi. Masalahnya, pengobatan ini tidak ada di Gaza yang sudah bertahun-tahun mengalami krisis medis. Sebelum bisa berbuat apa-apa, Allah menakdirkan bahwa kembali muncul bengkak cairan yang sebenarnya kanker itu di tempat yang sama dengan pembedahan yang kedua.
“Dokter di Gaza menyatakan, saya tidak mungkin diobati di sini. Tapi ada rumah sakit yang memiliki perawatan lengkap… di Tel Aviv. Maka, mau tidak mau, saya harus pergi ke sana. Di sana, saya harus memulai semua proses ini dari awal, mulai dari pemeriksaan sampai pembedahan berikutnya.”
Randa pergi bersama salah seorang kerabat perempuannya, karena suaminya yang perwira polisi itu tidak mungkin memasuki daerah Palestina yang dijajah Zionis Israel. “Dokter-dokter di Tel Aviv memutuskan 20 sesi kemoterapi. Sakit luar biasa. Semua rambut, bahkan alis mata saya pun rontok habis.”
Sekitar tiga bulan sesudah kemoterapi, ketika bengkak berisi cairan itu mulai mengecil, dilakukanlah operasi yang ketiga. Namun Allah menakdirkan bahwa tiga bulan lagi sesudah itu, terjadi lagi pembengkakan di tempat yang sama.
“Subhanallah, Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang menghendaki semua ini, dan semoga Allah menjadikan semua ini sebuah jalan untuk menambah timbangan pahala bagi kami,” tutur Randa.
Maka dokter memutuskan untuk sekali lagi melakukan operasi – sedemikian rupa sehingga payudara Randa berubah menjadi ‘lapangan’ yang bukan saja tipis dan cekung tapi bahkan tak memiliki cukup kulit untuk menutupi bekas operasinya. Maka dokter mengambil jaringan dari paha Randa untuk “menambal” dadanya. Semua rasa sakit itu ditanggung Randa dengan berusaha terus sabar, termasuk ketika dokter menambahkan enam kali sesi kemoterapi lagi sesudah operasi ke empat itu.
Pada tanggal 29 April 2012 yang lalu, ketika relawan SA masih berada di Gaza, Randa harus kembali ke Tel Aviv untuk pemeriksaan laboratorium dan scanning yang ke sekian kalinya.
Kanker itu ternyata sudah kembali lagi. “Semoga Allah mengampuni kami,” desah Randa.