REPUBLIKA.CO.ID, Pada 2012, doktor peneliti sidat ini kembali dipercaya untuk aktif sebagai pembicara di ajang empat tahunan tersebut.
Anak keempat dari lima bersaudara ini semakin tertarik mendalami lebih serius hewan dengan nama latin Anguilla Celebesansis tersebut. Alasan ini yang membuat Hagi melanjutkan kuliah strata dua di Fakultas Perikanan Sam Ratulangi Manado.
Ia sempat mengisahkan kesulitan pendanaan yang ia alami. Namun, semua bisa teratasi berkat beasiswa dari Yayasan ORBIT ICMI yang diketuai oleh Ny Ainun Habibie. Lulus strata dua, ia mendapat kesempatan melanjutkan strata tiga meneliti sidat di Universitas Tokyo, Jepang, tempat Profesor Katsumi mengajar.
Mempertahankan identitas
Masa-masa kuliah di Negeri Matahari Terbit, ia rasakan bukanlah perkara mudah. Terutama mempertahankan identitas sebagai Muslimah di Jepang dengan Muslim sebagai minoritas. Tidak semua orang Jepang memberikan sambutan baik.
Ketika mau shalat, mereka melarang karena harus menyelesaikan penelitian. Ia tak mau mengalah pada kondisi. Ia pun menyiasatinya dengan tidak izin terlebih dahulu. Ia langsung ke luar sebentar. Aktivitasnya itu, sempat tepergok oleh pihak kampus.
Pernah juga, ia dituduh terlalu selektif mengonsumsi makanan. Padahal, mereka telah meyakinkan tidak ada unsur babi pada makanan tersebut. Ia tak percaya begitu saja. Sikapnya itu pun mendapat kecaman. Perempuan berkacamata itu pun dianggap fanatik. “Saintis tidak boleh fanatik, nanti tidak bisa berkembang penelitiannya,” ujar Hagi menirukan ucapan dosennya.
Perempuan yang hobi membaca ini tidak mendebat pernyataan tersebut. Namun, hatinya semakin mantap untuk menunjukkan jati dirinya sebagai orang Islam. “Saat berada di Jepang saya memutuskan berkerudung untuk menunjukkan bahwa saya seorang Muslimah,” tegas Hagi mantap. Walaupun teman-temannya sempat mencela, “Kamu kayak ninja!”
Ikuti Whatsapp Channel Republika