Sabtu 16 Jun 2012 21:12 WIB

Kisah Sahabat Nabi: Ubadah bin Shamit, Sang Penentang Kezaliman (1)

Rep: Hannan Putra/ Red: Chairul Akhmad
Ilustrasi
Foto: solartour.sk
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, “Sekiranya orang-orang Anshar menuruni lembah atau celah bukit, pasti aku akan mendatangi lembah dan celah bukit orang-orang Anshar. Dan kalau bukanlah karena hijrah, tentulah aku akan menjadi salah seorang warga Anshar!”

Demikian ungkapan Rasulullah terhadap orang Anshar. Mereka adalah para sahabat yang berada di Madinah dan menolong kaum Muslimin yang hijrah ke tempat mereka. Karena itulah mereka dipanggil dengan Anshar yang berarti penolong.

Di antara mereka ini adalah Ubadah bin Shamit. Di samping seorang warga Kaum Anshar, ia merupakan salah seorang pemimpin mereka yang dipilih Nabi SAW sebagai utusan yang mewakili keluarga dan kaum kerabat mereka.

Ubadah termasuk utusan Anshar yang pertama datang ke Makkah untuk mengangkat baiat kepada Rasulullah SAW dan masuk Islam, yakni baiat yang terkenal sebagai Baiatul Aqabah pertama. Ia termasuk salah seorang dari 12 orang beriman yang segera menyatakan keislaman dan mengangkat baiat, serta menjabat tangannya, menyatakan sokongan dan kesetiaan kepada Rasulullah SAW.

Dan ketika datang musim haji tahun berikutnya, yakni saat terjadinya Baiatul Aqabah kedua yang diikuti 70 orang beriman, Ubadah menjadi utusan dan wakil orang-orang Anshar. Kemudian, ketika peristiwa berturut- turut silih berganti, saat-saat perjuangan, dan pengorbanan susul-menyusul tiada henti, Ubadah tak pernah tertinggal dalam setiap peristiwa.

Semenjak ia menyatakan, Allah dan Rasul sebagai pilihannya, maka dipikulnya segala tanggung jawab akibat pilihannya itu dengan sebaik- baiknya. Segala cinta kasih dan ketaatannya hanya tertumpah kepada Allah, dan segala hubungan baik dengan kaum kerabat, dengan sekutu-sekutu maupun dengan musuh-musuhnya, hanya sesuai dan menuruti pola yang dibentuk oleh keimanan dan norma-norma yang dikehendaki oleh keimanan ini.

Semenjak dulu, keluarga Ubadah telah terikat dalam suatu perjanjian dengan orang-orang Yahudi Bani Qainuqa’ di Madinah. Ketika Rasulullah SAW bersama para sahabatnya hijrah ke kota ini, orang-orang Yahudi memperlihatkan sikap damai dan persahabatan terhadapnya.

Tetapi pada hari-hari yang antara Perang Badar yang mendahului Perang Uhud, orang-orang Yahudi di Madinah mulai menampakkan belangnya. Salah satu kabilah mereka, yaitu Bani Qainuqa’ membuat ulah untuk menimbulkan fitnah dan keributan di kalangan kaum Muslimin.

Melihat hal ini, Ubadah secepatnya ia melakukan tindakan yang setimpal dengan jalan membatalkan perjanjian dengan mereka. Ia berkata, “Saya hanya akan mengikuti pimpinan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman!”

Tidak lama kemudian turunlah ayat Alquran memuji sikap dan kesetiaannya ini melalui firman-Nya, “Dan barangsiapa yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman sebagai pemimpin, maka sungguh, partai atau golongan Allahlah yang beroleh kemenangan.” (QS. Al-Maidah: 56).

sumber : 101 Sahabat Nabi karya Hepi Andi Bastoni
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement