Selasa 26 Jun 2012 20:12 WIB

Fikih Muslimah: Bagaimana Membeli Produk Impor?

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Chairul Akhmad
Ketua Apindo, Sofyan Wanandi (tengah) membicarakan beberapa produk impor tanpa label Bahasa Indonesia di Jakarta.
Foto: Dok Republika
Ketua Apindo, Sofyan Wanandi (tengah) membicarakan beberapa produk impor tanpa label Bahasa Indonesia di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, Ada banyak produk makanan atau minuman yang datang dari mancanegara dan beredar di pasaran Tanah Air. Peredarannya banyak di temukan di supermarket, pasar tradisional, atau toko-toko terdekat.

Keberadaan olahan dari luar negeri itu pun tak jarang menimbulkan keresahan, terutama soal status kehalalannya. Misalnya, daging, keju, ataupun produk-produk makanan dan minuman ringan. Bagaimana seorang ibu rumah tangga dan Muslimah secara umum mesti bersikap?

Prof Abd Al-Karim Az-Zaidan dalam Kitabnya yang berjudul Al-Mufashal fi Ahkam Al -Mar’at, menjawab kegamangan itu. Dalam karyanya yang terdiri dari 11 jilid itu, ia merincikan bagaimana menyikapi produk-produk, terutama makanan yang berasal dari dunia luar. Dunia luar yang dimaksud, ialah negara-negara yang berpenduduk mayoritas non-Muslim.

Terkait daging impor, ia mengatakan, bila daging tersebut ialah daging ikan maka secara umum aman membelinya. “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan.” (QS. Al-Maidah: 96).

Daging ikan itu halal dan status kehalalannya tidak dipengaruhi oleh nelayannya yang Muslim atau bukan. Sedangkan, bila daging yang diimpor berasal dari hewan seperti sapi, kambing, atau unta, maka ia berpendapat hukumnya halal dikonsumsi.

Dengan catatan, bahwa daging tersebut didatangkan dari negara-negara ahli kitab, seperti Nasrani dan Yahudi. Ketentuan ini sebagaimana disebut dalam ayat, “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.” (QS. Al-Maidah: 5).

Sedangkan, bila daging itu berasal dari negara-negara ateis, seperti negara-negara komunis, ia berpendapat lebih baik tidak membeli produk-produk yang datang dari negara-negara tersebut. Hal ini karena hukum mengonsumsi sembelihan mereka tidak sah.

Demikian juga dengan hukum mengonsumsi keju hasil produksi negara-negara luar non-Muslim. Jika keju tersebut adalah disarikan dari hewan yang halal dan datang dari negara-negara Nasrani atau Yahudi maka boleh mengonsumsinya.

Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika, Majelis Ulama Indonesia LPPOM MUI, Lukmanul Hakim, mengatakan dalam sistem jaminan halal, negara-negara pengekspor daging ke Indonesia selalu menyertakan logo ataupun label halal dari lembaga sertifikasi tempat asal daging tersebut. “Itu saja indikatornya, bila tidak ada maka sulit membedakan,” katanya.

Ia juga menambahkan agar konsumen selektif memilih produk luar dengan mempertimbangkan ada atau tidaknya sertifikat halal MUI dalam kemasan produk itu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement