Rabu 27 Jun 2012 15:20 WIB

Wapres Ajak 'Good Governance' Dijadikan Budaya

Red: Djibril Muhammad
BANDA ACEH, 13/4 - FUNGSIKAN EWS. Wapres Boediono memberikan arahan pada pertemuan dengan muspida Aceh di Banda Aceh, Jumat (13/4). Wapres meminta pihak terkait memfungsikan Early Warning System (EWS) tsunami di Aceh, menata kembali jalur evakuasi
BANDA ACEH, 13/4 - FUNGSIKAN EWS. Wapres Boediono memberikan arahan pada pertemuan dengan muspida Aceh di Banda Aceh, Jumat (13/4). Wapres meminta pihak terkait memfungsikan Early Warning System (EWS) tsunami di Aceh, menata kembali jalur evakuasi

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA - Wakil Presiden (Wapres) Boediono mengajak seluruh komponen masyarakat, terutama birokrat menjadikan 'good governance' (tata kelola yang baik) sebagai budaya. Sehingga pelaksanaannya bukan hanya sekadar patuh terhadap aturan formal yang ada.

"Peningkatan mutu tata kelola dari sekadar patuh kepada aturan formal ke tingkat yang lebih tinggi yaitu budaya tata kelola, menandai makin matangnya sebuah organisasi," kata Boediono saat membuka Konvensi Nasional Akutansi VII dengan tema 'Transformasi Good Governance dari Kepatuhan Menuju Budaya', di Yogyakarta, Rabu (27/6).

Boediono mengatakan bahwa ia bersama dengan menteri-menteri terkait berusaha mencoba keras untuk memulai prores reformasi birokrasi, yang intinya tata kelola yang baik, dengan cara yang lebih sistimatis dan lebih terukur, bahkan antara lain juga dengan merekrekrut ahli-ahli akutansi.

"Salah satu tugas saya adalah mengkordinasikan pelaksanaan kebijakan Reformasi Birokrasi, yang intinya adalah penerapan 'Good Governance' pada birokrasi kita," kata Boediono.

Ia mengatakan sudah banyak peraturan, perangkat atau dokumen dalam rangka memperbaiki birokrasi. "Tapi kalo bicara soal budaya (birokrasi yang baik sebagai budaya), saya harus katakan bahwa ini baru awal sekali," kata Boediono.

Wapres mengatakan transformasi 'good governance' dari kepatuhan menuju budaya, tidak terungkap dalam dokumen-dokumen. Budaya, katanya, bukan masalah sistem, struktur atau aturan, namun terletak pada manusianya, kepada etika dan perilaku.

Menurut pandangan Boediono, upaya untuk melakukan transformasi "good governance" dari Kepatuhan menuju budaya, harus ada 'code of conduct' atau kode perilaku, tidak sekadar kode etik. "Code of conduct" tersebut harus disepakati bersama dan pelaksanaannya diawasi secara bersama-sama pula.

Boediono memberikan contoh suatu negara yang berupaya untuk menerapkan 'code of conduct', yakni Inggris. Pada 1990-an negara itu dilanda pelanggaran etika dan hukum baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Pada 1994, PM John Major membentuk komite independen sebagai respons terhadap pelanggaran-pelanggaran etika.

Pada 1995 Komite melahirkan tujuh prinsip dasar pejabat publik (Nolan Principles). Bahasa prinsip dasar itu sederhana, mudah dimengerti orang awam, dan konsepnya 'generik' sehingga bisa diterapkan di setiap organisasi dan pada setiap tingkat kepemimpinan,

Tujuh prinsip itu adalah 'selflessness' (tidak mementingkan diri sendiri), integritas, objektif, akuntabel, 'openness' (keterbukaan), 'honesty' (kejujuran) dan 'leadership' (kepemimpinan yang membei contoh teladan).

Namun, Bodiono juga mengatakan untuk beberapa hal kode etik dan kode perilaku sudah ada yang dibuat, bahkan sudah dibukukan dan rutin disosialisasikan di lingkup masing-masing. Tapi dampaknya masih perlu dicek.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement