Kamis 28 Jun 2012 16:28 WIB

Senjata Impor Picu Kekerasan di Sudan Selatan

Rep: Lingga Permesti/ Red: Dewi Mardiani
Sudan dan Sudan selatan
Sudan dan Sudan selatan

REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Amnesti Internasional menuduh senjata yang dikirim dari Sudan, Cina, dan Ukraina memicu pertempuran yang merenggut puluhan ribu jiwa sipil di Sudan Selatan, Kamis (28/6). Lembaga ini mengimbau negara internasional penjual senjata agar berhenti melakukan penjualan senjata ke negara yang beresiko besar melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

Berdasarkan laporan itu, bentrokan telah menewaskan atau melukai puluhan orang. Rumah-rumah hancur sehingga memaksa orang untuk meninggalkan rumah mereka. Senjata telah digunakan pemberontak dan militer Sudan Selatan untuk melakukan serangan.

Kehancuran terjadi dalam pertempuran antara Angkatan Bersenjata Sudan Selatan (SPLA) dan Tentara Pemberontak Pembebasan Sudan Selatan (SLA) pada 2010 dan 2011. Militer, katanya, menggunakan senjata dan tank tempur T-72 yang disediakan Ukraina.

"Tank tempur ini sepenuhnya tidak cocok untuk pertempuran di tengah kota karena mereka tidak dapat membedakan antara objek militer dan sipil di daerah perkotaan," kata pernyataan Amnesty. AI mengatakan, tank yang digunakan oleh militer Sudan Selatan sebelumnya merupakan milik Sudan People's Liberation Army (SPLA). Tank tersebut didatangkan sekitar tahun 2007-2009 melalui Kenya. Sementara sebagian lagi didatangkan melalui Ukraina, Jerman dan Inggris.

Pemberontak SLA memakai senjata dari Cina dan menembak amunisi buatan Sudan. "Puluhan warga sipil telah tewas dan terluka dalam satu tahun terakhir karena penembakan oleh SSLA. Pertempuran juga meningkatkan biaya makanan dan bahan bakar di wilayah tersebut.

Direktur AI Afrika Erwin van der Borght mengecam perdagangan senjata di sana. "Pemerintah harus segera menghentikan pasokan senjata SUdan Selatan dengan senjata konvensional. Penggunaan senjata adalah melanggar hukum kemanusiaan internasional dan hak asasi manusia," kata dia. 

Sudan Selatan memisahkan diri dari Sudan pada 9 Juli tahun lalu. Sejak berpisah, kedua negara dilanda konflik internal dan eksternal. Sementara itu, AS pada Selasa mengutuk keras protes anti-pemerintah di Sudan yang telah menyebar di seluruh ibukota Khartoum, Sudan.

sumber : Alarabiya
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement