REPUBLIKA.CO.ID, Di Jakarta juga begitu. Saat terjadi revolusi fisik, Habin Salim tetap lantang berpidato dalam berbagai forum, seperti majelis taklim, pengajian, dan masjid.
Ucapannya mampu membakar semangat pejuang untuk berjihad melawan penjajah Belanda. Padahal, kala itu NICA (tentara Belanda) tengah masuk kembali ke Indonesia melalui pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris. Ketegasan itulah yang menyebabkannya kerap ditangkap dan dipenjarakan.
Di dalam tahanan Belanda yang berambisi ingin kembali berkuasa di Indonesia, Habib Salim tetap tabah, sabar, dan pantang menyerah. Niatnya bukan hanya sekadar amar ma'ruf nahi munkar, tapi menentang kebatilan dan kemungkaran. Baginya, penjajahan terhadap suatu bangsa adalah pemerkosaan terhadap hak asasi manusia.
Penulis sangat mengenal pribadi Habib Salim bin Djindan ini. Ia dikenal sebagai orang yang energik dengan bahasa Jawanya yang kental.
Bersama dengan Habib Ali Alhabsyi (Kwitang) dan Habib Ali bin Husin Alatas, mereka dikenal sebagai tiga serangkai (triumvirat) dalam berdakwah. Kalau Habib Ali bin Husein Alatas lebih banyak diam dan Habib Ali Kwitang mengajak masyarakat saling mencintai; Habib Salim Bin Djindan dengan suara yang menggebu-gebu kadang mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggapnya berlawanan dengan ajaran Islam.
Seperti tahun 1960-an, ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) melancarkan serangan-serangan anti-Islam, Habib Salim bin Djindan senantiasa berada di depan bersama ribuan massa untuk menyerang kelompok kiri ini. Padahal, ketika itu, PKI merupakan partai yang sangat kuat dan ditakuti. Ia mengingatkan umat Islam akan bahaya besar bila komunis berkuasa di Indonesia.
Habib Salim terkenal sebagai ulama yang tegas dan keras, terutama dalam hal-hal kemaksiatan. Ia juga sering kali mengingatkan umat akan kerusakan moral. Kepada kaum wanita, Habib mengingatkan mereka agar memerhatikan cara berpakaian dan menutup aurat.
''Jagalah wanita-wanita kalian. Peringatkan anak-anak dan istrimu agar menjaga aurat mereka. Karena penyakit tabarruj (memamerkan aurat) bisa menyebar ke rumah-rumah kalian,'' kata Habib Salim.
Dalam buku 12 Habaib Berpengaruh, Habib Salim berkata kepada keluarganya, ''Aku mengharapkan datangnya kematian. Karena aku menginginkan perjumpaan dengan orang-orang yang aku cintai. Mereka adalah para ulama dan salihin dan aku mengharapkan berkumpul bersama ajdad (para leluhurku) dan bersama datukku, Muhammad Rasulullah.''