REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Thailand berpeluang mengalami perubahan besar dalam waktu dekat sejak didera krisis kepemimpinan dan kudeta pada 2006. Menurut seorang pakar, Thongchai Winichakul, guru besar ilmu sejarah Universitas Wisconsin-Madison, mengatakan di Jakarta, Kamis (5/7), ada tiga konflik fundamental yang terjadi di negara berjuluk Gajah Putih itu.
Tiga konflik dasar yang terjadi di Thailand adalah perubahan masyarakat pedesaan menjadi masyarakat semi-perkotaan, perang antara demokrasi elektoral dengan demokrasi royalis, dan momentum suksesi kerajaan Thailand. "Munculnya masyarakat semi-perkotaan mempunyai dampak yang sangat besar terhadap sektor pertanian. Selain itu juga meningkatkan hubungan antara wilayah pedesaan dengan perkotaan," kata Winichakul dalam kuliah umum di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Dia mencatat terjadinya penurunan hasil pertanian dalam Produk Domestik Bruto (PDB) Thailand. Pada tahun 1960-an, sektor pertanian menyumbangkan kira-kira 36 persen PDB Thailand sedangkan pada tahun 2000 ke atas, produk pertanian hanya menjadi 11 persen dari total PDB.
Selain itu tingkat kemiskinan di daerah pedesaan juga menurun dari 96 persen pada 1960 menjadi 13 persen pada tahun 2000 ke atas. "Hal tersebut disebabkan oleh perkembangan ekonomi yang pesat pada era 80 hingga 90an," kata Winichakul. Gerakan royalis di Thailand juga memunculkan gerakan anti-royalis seperti kelompok Kaos Merah yang melengserkan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra pada 2006.
Raja Thailand Bhumibol Adulyadej juga dipandang sebagai pemersatu negara yang kerap dilanda kekerasan politik itu dan bahkan dia dianggap manusia setengah dewa oleh rakyatnya. Namun, Putra Mahkota Vajiralongkorn dipandang tidak populer dan belum bisa menjadi sosok panutan Thailand menggantikan ayahnya yang kini berusia 84 tahun dan sakit-sakitan, kata Winichakul.
"Warga menuntut adanya perubahan sekarang. Harus ada perubahan atau akan terjadi perselisihan," kata Winichakul yang juga merupakan pengarang buku mengenai sejarah Thailand berjudul "Siam Mapped".
Untuk mencegah terjadinya krisis dalam jangka panjang, maka demokrasi royalis harus segera digantikan dengan demokrasi elektoral. "Siapa pun berhak memimpin Thailand," kata Winichakul. Selain itu, untuk jangka pendek, kata dia, kerajaan harus memecahkan masalah tentang suksesi kerajaan, jangan sampai anggota kerajaan saling menjatuhkan untuk menjadi penerus tahta.