REPUBLIKA.CO.ID, Pada masa Sultan Sulaiman Kanuni yang memerintah pada 1520-1566 Masehi, jabatan itu berkembang dari pekerjaan paruh waktu menjadi pekerjaan resmi.
Sulaiman mengangkat mufti Istanbul untuk jabatan Syekh Al-Islam dan menjadikannya kepala urusan keagamaan untuk seluruh kesultanan. Dengan demikian, Dinasti Utsmaniyah memberikan dukungan politis kepada fatwa, yang sebelumnya tidak pernah terjadi.
Di luar Kesultanan Utsmaniyah, terdapat jabatan yang setara dengan Syekh Al-Islam, walaupun dikenal dengan sebutan yang berbeda. Di India zaman kekuasaan Mughal, ada jabatan kepala urusan keagamaan (shadr al-shudur). Syekh Al-Islam, pada era Mughal mereka bertugas mengurusi kaum sufi.
Demikian juga di Iran. Semasa Shafawiyah, Syekh Al-Islam tidak berperan sebagai mufti besar dan juga bukan kepala hierarki keagamaan. Fungsi tersebut dijalankan oleh shadr al-shudur. Ia mengendalikan lembaga-lembaga keagamaan atas nama negara dan yang mengepalai penyebaran Syiah yang mendapat dukungan resmi.
Di bawah kekuasaan penjajah, madrasah mengambil alih peran mufti sebagai pembimbing keagamaan. Madrasah mendirikan lembaga Dar Al-Ifta’. Institusi ini bertugas mengeluarkan fatwa.
Media cetak dan elektronik pada abad ke-19 dan ke-20 memperkuat peran dan pengaruh fatwa. Mufti menghadapi berbagai masalah sehari-hari dalam masyarakat di bidang ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Ruang lingkup fatwa tidak saja meluas dan menjangkau publik lebih luas, tetapi bahasa, penyajian, dan gaya pun berubah.
Negara-negara Muslim, khususnya pada zaman modern, mencoba mengendalikan fatwa dengan melembagakan organisasi-organisasi yang memberikan konsultasi kepada negara dan mengeluarkan fatwa. Ambil saja contohnya di Pakistan.
Negara Republik Islam itu membentuk Dewan Ideologi Islam Pakistan. Di Arab Saudi, terbentuk Komite Para Ulama (Haiat Kibar Al-Ulama). Peran mereka adalah penasihat dan merupakan bagian dari kementerian agama, bukan kementerian kehakiman.