Selasa 10 Jul 2012 19:47 WIB

Hujjatul Islam: Jalaluddin Al-Mahalli, Ahli Tafsir nan Bersahaja (2)

Rep: Nidia Zuraya/ Red: Chairul Akhmad
Ilustrasi
Foto: wordpress.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Di samping aktif mengajar, Al-Mahalli juga dikenal sebagai seorang penulis yang produktif. Hampir di setiap bidang ilmu yang dikuasainya, ia menghasilkan sebuah karya tulis.

Tentang ushuluddin dan usul fikih, misalnya, ia menulis Syarh Jami' Al-Jawami. Dalam bidang fikih, dia menulis Syarh Al-Minhaj Ath-Thalibin, karya Imam Nawawi. Kitab ini dipakai hampir di seluruh pesantren di Indonesia. Ulama Syafi’i juga banyak mempelajari dan menggunakan kitab ini sebagai rujukan.

Karya kolaborasi guru dan murid

Kendati demikian, tidak semua kitab yang ia tulis bisa diselesaikannya. Terdapat banyak kitab yang belum ia sempurnakan, termasuk masterpiece-nya; Tafsir Al-Jalalain.

Setelah Al-Mahalli menyelesaikan separuh tulisannya (dari surah Al-Kahfi hingga An-Nas), ia bermaksud melanjutkan tulisannya yang tinggal separuh, yaitu dari awal Surah Al-fatihah sampai Al-Isra'.

Namun, ketika baru selesai menafsirkan Al-Fatihah, ia keburu wafat. Ia wafat pada hari pertama tahun 864 H/1460 M atau saat usianya genap 73 tahun.

Kitab tafsir ini akhirnya dilanjutkan oleh salah seorang muridnya, Jalaluddin As-Suyuthi. Kitab ini kemudian diberi nama Tafsir Al-Jalalain yang berarti karya dari dua Jalaluddin (tokoh agama yang agung). Hal inilah yang menyebabkan tafsir Surah Al-Fatihah dalam kitab Al-Jalalain ditaruh di belakang agar menyatu dengan tafsir Al-Mahalli yang telah selesai dan mudah dipilah-pilah.

Kitab tafsir ini disusun oleh dua orang ulama terkemuka yang kemudian dikenal dengan nama dua Jalal (Jalalain) sebagai penanda nama sebuah kitab. Mereka itu adalah Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi.

Kedua penulis ini merupakan guru (Jalaluddin Al-Mahalli) dan murid (Jalaluddin As-Suyuthi). Sebelum kitab tafsir ini selesai di tangan Jalaluddin Al-Mahalli, sang murid, Jalaluddin As-Suyuthi yang menyempurnakannya.

Al-Mahalli lahir pada tahun 791 H/1389 M dan wafat tahun 864 H. Sedangkan, Al-Suyuthi lahir lima belas tahun sebelum meninggalnya Al-Mahalli. Tepatnya pada tahun 849 H/1445 M dan wafat pada 9 Jumadil Awal tahun 991 H.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement