Kamis 12 Jul 2012 19:03 WIB

Pakar: Dua UU Ancam Kriminalisasi Hakim

Rep: Ahmad Reza Safitri/ Red: Dewi Mardiani
Hakim dan Sistem Peradilan (ilustrasi)
Foto: http://mikesmithspoliticalcommentary.blogspot.com
Hakim dan Sistem Peradilan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ancaman kriminalisasi terhadap hakim kian terbuka. Apalagi, sedikitnya terdapat dua produk perundang-undangan yang dibuat DPR. Produk pertama kini telah disahkan menjadi Undang-undang (UU), yakni Sistem Peradilan Pidana Anak.

Sedangkan yang kedua masih berbentuk rancangan, yakni RUU Mahkamah Agung. Dua produk tersebut mencantumkan sanksi bagi hakim yang melakukan kesalahan. Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Hibnu Nugroho, mengeritik keras adanya bentuk ancaman yang bakal menganggu indepensi hakim.

Jika diteruskan, kata dia, penegakan hukum dikhawatirkan akan penuh dengan agenda politik yang seharusnya nilai indepedensi peradilan merupakan harga mati. "Hakim menjadi kehilangan kebebasan," kata Hibnu dalam sambungan telepon, Kamis (12/7).

Dalam UU Peradilan anak yang sudah disetujui DPR, misalnya, sanksi pidana bisa diberikan pada hakim dan penegak hukum lain. Ancaman pertama yaitu sanksi pidana maksimal dua tahun atau denda maksimal Rp 200 juta bagi penyidik, penuntut umum, dan hakim yang tidak melaksanakan diversi dalam perkara pidana anak (Pasal 95-Red).

Selain itu, pidana juga bisa dijatuhkan kepada penyidik, penuntut umum, dan hakim paling lama dua tahun bagi yang sengaja melakukan penahanan kepada anak yang lewat dari batas waktu.

Sementara dalam RUU MA, malah memberikan kewenangan bagi DPR untuk melakukan pengawasan terhadap para hakim. Para legislator menjadi lembaga yang bisa melakukan pengawasan terhadap penyimpangan-penyimpangan terhadap UU yang dilakukan oleh MA. Dalam RUU ini juga terdapat larangan bagi hakim untuk membuat putusan yang melanggar UU, membuat putusan yang menimbulkan keonaran, serta kerusakan yang mengakibatkan kerusuhan dan huru-hara.

Tak hanya itu, hakim juga dilarang untuk membuat putusan yang tidak mungkin dilaksanakan, karena bertentangan dengan realitas ditengah-tengah masyarakat, adat istiadat, dan kebiasaan yang turun temurun sehingga akan mengakibatkan pertikaian dan keributan. "Tapi nilai indepedensi hakim tidak boleh dicederai, apalagi sampai DPR ikut mengawasi," tegas Hibnu.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement