Senin 16 Jul 2012 10:09 WIB

Beginilah Pengaruh Kuat Kuliner Islam di Eropa

Rep: Indah Wulandari/ Red: Endah Hapsari
Kurma
Foto: Lapar.com
Kurma

REPUBLIKA.CO.ID, Jatuhnya kekaisaran Romawi pada abad ke-5 Masehi membawa kemajuan peradaban manusia. Pusat peradaban bergeser ke Jazirah Arab. Pergeseran itu mendorong terjadinya Revolusi Pertanian Islam yang kelak juga mempengaruhi terciptanya beragam makanan di berbagai belahan dunia, khususnya Eropa.

Di Yunani, pada abad ke-4 SM, para penjelajah melaporkan pengamatannya di India. Mereka menyebut tanaman buah-buahan sebagai "madu tanpa lebah yang tumbuh di pohon". Melihat keragaman itu, para ahli tanaman Muslim memelopori pencangkokan tanaman dari kawasan Asia ke kawasan gurun. Mereka mulai membudidayakan tanaman buah di sekitar Mesir, Suriah, utara Afrika, Spanyol, dan Sisilia.

Wujud keragaman budi daya ingin mereka tunjukkan sebagai bentuk warisan dari revolusi pertanian, sekaligus penyeimbang adanya permintaan komoditas perdagangan serta  pertukaran pengetahuan dan ide. Alhasil, perkembangan itu menginspirasi para ilmuwan Muslim untuk mengklasifikasikan berbagai tumbuhan ataupun rempah-rempah. Mereka juga menentukan bisa tidaknya suatu jenis tumbuhan itu dimakan.

Merujuk pada sabda Nabi Muhammad SAW bahwa tubuh memiliki haknya yang harus dipenuhi, dokter dan ilmuwan Muslim pada abad pertengahan menyusun sejumlah buku yang terkait dengan makanan sehat berikut cara penyajiannya. Misalnya, Ibnu Said al-Qurtubi yang pada abad ke-10 menulis Kitab Khalq al-Janin wa Tadbir al-Hibala.

Buku ini membahas pola dan pengaturan makan bagi janin dan ibu hamil. Lalu, ada Abu Marwan Ibn Zuhr (1092-1161) dengan karyanya, Al-Taysir fi l-Mudawat wa-l-tadbir Kitab al-Aghdia. Ini adalah buku tentang nutrisi. Tercatat pula dalam sejarah, Mohammed al-Baghdadi, cendekiawan dari Irak yang pada abad ke-13 menulis Kitab at-Tabikh. Pada abad yang sama, Dawud al-Antaki dari Suriah meluncurkan buku berjudul Tadhkira. Penulis asal Suriah lainnya, Ibnu Adim, mempersembahkan karya Waste l-Habib fi Wasf al-Tayyibdt wa at-Thibb.

Menurut Zohor Idrisi, seorang peneliti di Foundation for Science Technology and Civilization, dalam tulisannya The Influence of Islamic Culinary Art on Europe, buku-buku yang disusun dokter dan ilmuwan Muslim itu menarik perhatian, baik para penguasa maupun gereja di Barat.

Proses demokratisasi juga mengemuka di kalangan pecinta kuliner pada awal peradaban Islam. Beberapa makanan yang sebelumnya hanya tersedia di istana bisa dinikmati pula oleh seluruh rakyat. Umat Islam pada masa itu juga telah menyadari pentingnya memenuhi nutrisi dengan makanan yang baik dan bergizi. Saat itu, bahkan telah muncul tren mempromosikan kesehatan warga sesuai dengan lingkungan mereka dan musim yang berlangsung.

Pada abad ke-13, buku-buku dari ilmuwan dan dokter Muslim menarik perhatian para penguasa dan pemimpin gereja di Barat. Mereka juga tertarik dengan buku-buku kompilasi resep saat kota-kota, seperti Ferrara, Salerno, Montpellier, dan Paris menjadi pusat untuk mempelajari karya medis Muslim. Di kalangan aristokrat Eropa, permintaan untuk bahan makanan Muslim dan rempah-rempah meningkat pesat.

Kala itu, ada penguasa di Eropa yang mengikuti pola diet ala Islam. Dialah Ratu Christina, penguasa Denmark, Swedia, dan Norwegia. Sang ratu rela mengimpor produk-produk mahal serta buah-buahan dari Jazirah Arab, padahal sejak berpisah dari suaminya pada tahun 1496, dia menerapkan pola pengeluaran keuangan yang ketat. Tapi, demi kesehatan, dia rela mengorbankan banyak dana untuk mengimpor makanan dari Arab. 

Pengorbanannya tak sebatas harta. Sang ratu juga menerapkan pola diet dengan berpuasa melebihi ketentuan waktu puasa dari gerejanya. Dia memutuskan untuk menyimpan uang agar kebutuhannya akan apel dan gandum hitam terpenuhi. Dari cerita ini, muncul dugaan bahwa asal-usul kue-kue kering Denmark terinspirasi dari kebiasaan Ratu Christina ini.

Hari demi hari, pengaruh kuliner Muslim kian tersebar ke seluruh Eropa. Banyak buku dan resep yang disusun ilmuwan Muslim diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, seperti buku Taciunum Sanitatis (Pemeliharaan Kesehatan) yang terbit abad ke-11 Masehi. Buku ini banyak dirujuk dokter serta para koki untuk resep masakan sehat. Belakangan, salinannya banyak dijiplak penerbit di seluruh dunia. Beberapa buku masakan kemudian muncul dalam periode ini. 

Tata urutan penyajian makanan di Eropa yang kemudian mendunia ternyata mengadopsi tata cara penyajian makanan ala Muslim. Dua pakar Muslim, yakni Rhazes dan Ibnu Zohr, merekomendasikan tata urutan penyajian makanan mulai dari salad atau sup, hidangan utama, dan hidangan penutup. Seluruh rangkaian tadi diakhiri dengan mencuci tangan di meja dengan air mawar.  

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement