REPUBLIKA.CO.ID,Jungkir balik. Begitulah hasil survei prapemilukada DKI Jakarta, dibanding dengan hasil hitung cepat (quickcount) dan hasil pemilu aktual alias penghitungan suara manual Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hasil ini membuat kredibilitas lembaga-lembaga survei (pollster) pun dipertanyakan.
Semula, lembaga-lembaga survei meramalkan pasangan Fauzi Bowo- Nachrowi Ramli (Foke-Nara) di atas angin, bahkan bisa menang satu putaran dalam pemilukada DKI Jakarta yang digelar 11 Juli 2012. Tapi, kenyataan berbicara lain: Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnamalah yang menang.
Persoalannya, kesalahan prediksi itu bukan hanya dilakukan satu lembaga, tapi beberapa lembaga sekaligus. Persoalan lainnya, lembaga-lembaga yang keliru itu merupakan pollster arus utama di jagad politik Tanah Air, seperti Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Indobarometer, Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), Jaringan Suara Indonesia (JSI), dan Cyrus Network.
Lembaga-lembaga yang telah malang melintang ini, selalu menempatkan Foke Nara di puncak tangga elektabilitas. Rata rata di atas 40 persen, bahkan mendekati 50 persen. Dengan ambang kesalahan (margin of error) 4,8 persen, dengan prediksi optimistis, Foke Nara bisa meraup suara hingga 54 persen, atau kalau terpuruk, paling buruk sekitar 35 persen.
Sementara, untuk Jokowi-Ahok, lembaga-lembaga survei memberi angka berkisar 14,4 persen sampai 21 persen. Dengan ambang kesalahan 4,8 persen, paling top duet ini hanya akan meraih 25,8 persen suara, kalau tidak malah terpuruk ke 9,6 persen.
Tapi, hasil quickcount yang diumumkan pada 11 Juli, dan hasil aktual yang diumumkan lebih dari sepekan kemudian, memperlihatkan hasil yang di luar kelaziman. Suara Jokowi-Ahok justru berada pada kisaran 42-43 persen. Sementara, Foke Nara hanya meraih suara di kisaran 33-34 persen.
Dan, ibarat terlibat dalam se buah kecelakaan maut, ambang kesalahan tak mampu lagi menjadi sabuk pengaman. Semuanya jebol. Padahal, ambang kesalahan itu merupakan aura kewibawaan sebuah lembaga survei. Makin kecil margin of error, makin berwibawa lembaga itu. Karena, itu berarti, lembaga tersebut sudah bermain dengan presisi tinggi.
Alhasil, 11 Juli pun menjadi hari suram bagi lembaga survei di Indonesia. Karena hasil survei yang kerap mereka kemukakan, bahwa Foke-Nara akan menang, bahkan dengan satu putaran, tak ubahnya takhayul ilmiah. Sialnya, kesalahan itu benar-benar terekspose, karena terjadi di panggung bernama Jakarta, ibu kota negeri ini.