REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah harus kreatif dalam upaya mengatasi kelangkaan kedelai.
Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan pengembangan petani kedelai lokal yang kualitasnya setara dengan kedelai impor sebagai solusi jangka panjang. Hal ini tentu tidak terlalu menjadi persoalan mengingat Indonesia sebagai negara agraris yang memiliki lahan setara dengan lahan importir kedelai.
"Pengembangan ini pastinya perlu dibarengi teknologi pertanian yang canggih, modern, efisien, dan ramah lingkungan," jelas Ketua Fraksi PKB, Marwan Ja'far, kepada Republika, Kamis (26/7).
Ketua Fraksi PKB ini menambahkan, pemerintah juga perlu mempertimbangkan secara matang usulan penghapusan bea masuk impor dari 5% menjadi 0%. Jika penghapusan itu benar-benar demi kepentingan rakyat dan keberlangsungan stabilitas nasional, maka tidak ada salahnya dihapus menjadi 0%. Solusi penghapusan bea impor dari 5% menjadi 0% sebagai solusi jangka pendek.
"Jadi kalau pengembangan petani lokal sudah berhasil, maka tidak perlu impor kedelai lagi dan bea 0% dengan sendirinya tidak berlaku lagi," jelasnya.
Pemerintah harus menargetkan, kedepan nanti, Indonesia tidak bergantung lagi dengan kedelai impor, atau setidaknya mengurangi angka impor.
Saat ini angka impor kedelai mencapai 60%. Menurut Marwan, hal ini menjadi fakta tak terbantahkan bahwa sektor pertanian komoditi kedelai perlu segera mendapat perhatian khusus.
Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai Indonesia dilakukan dalam bentuk tempe, 40% tahu, dan 10% dalam bentuk produk lain (seperti tauco, kecap, dan lain-lain). Konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 6,45 kg.