REPUBLIKA.CO.ID, BAMAKO, MALI – Presiden transisi Mali, kembali pulang, Jumat (27/7) setelah dua bulan menjalani perawatan medis di Prancis. Ia menderita cedera parah akibat dipukuli oleh para pemrotes yang mendukung pemimpin kudeta berkuasa hingga kini.
Dioncounda Traore menjadi presiden Mali pada Aprli setelah para tentara di balik kudeta Maret setuju menyerahkan kekuasaan ke pemerintah sipil sementara. Namun pemimpin kudeta dari militer Kapten Amadou Sanogo menunjukkan tanda-tanda enggan pergi.
Pada Mei, pendukung Sanogo menerobos keamanan dan menyerang Traore di kantornya. Ia tak sadarkan diri saat dilarikan ke rumah sakit. Para demonstran terlihat mengibarkan dasi dan sepatunya yang berdarah sebagai perayaan.
Demonstran diyakini mendapat bantuan oleh para tentara loyalis unta militer yang mengambil alih kekuasan pada Maret. Mereka ialah militer yang tak bahagia dengan transisi kembali ke pemerintah sipil. Banyak orang yang meyakini bahwa Traore tak akan kembali ke negara di Afrika barat itu setelah dipukuli dan dilukai parah.
"Saya pikir Traore begitu berani untuk memutuskan kembali pulang," ujar seorang mahasiswa dari Universitas Bamako, Binta Sangare. "Dalam kenyataan, saya tidak suka dia sebagai presiden transisi, namun jika ia adalah jalan keluar dari krisis ini, maka kami tak punya pilihan."
Traore, mantan kepala perlemen nasional Mali, dilihat sebagai sekutu terdekat presiden yang digulingkan oleh pemimpin kudete, Sanogo. Meski kudeta pada Maret lalu dianggap kemunduran demokrasi dua dekade di Mali, banyak yang menyatakan dukungan terhadap pengambilalihan militer karena frustrasi dengan rezim terdahulu yang dipandang korup dan tak becus.