REPUBLIKA.CO.ID, BAMOKO -- Mali mulai memasuki babak baru. Pemilihan umum di negeri berpenduduk Islam itu berhasil mendudukkan politikus gaek Ibrahim Boubacar Keita sebagai presiden. Kemenangan Keita pun diakui oleh pesaing utama, yaitu Soumaila Cisse.
Cisse dalam siaran resminya menyatakan kekurangannya dalam pemilihan kali ini. Mantan Menteri Keuangan tersebut berjanji untuk membantu membangkitkan optimisme masyarakat Mali dalam kepemimpinan Keita.
''Saya dan keluarga bertamu ke rumah presiden baru kita semua (Mali). Saya mengucapkan selamat atas kemenangan saudara Keita. Keita adalah masa depan kita semua,'' kata Cisse seperti dikutip Reuters, Selasa (13/8).
Kemenangan Keita membuka peta politik baru di Afrika Barat.Keita bukan orang baru di pemerintahan. Laki-laki 68 tahun ini pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Mali pada 1990-an.
Namanya identik dengan kelompok politik muslim di negara itu. Kekacauan politik di negeri tersebut, membuat politisi senior ini turun gunung. Keita memang diharapkan kembali.
Kenyataan itu tampak dari hasil pemilihan nasional babak pertama. Putaran awal pemilihan Juli lalu, menghantarkan namanya ke putaran kedua. Keita meraup 39,8 persen suara, menjungkalkan kandidat presiden lainnya.
Konstitusi Mali mengatur minimal 50 persen suara untuk menang mutlak. Al Jazeera mengatakan konsolidasi politik pascaputaran awal membuat 22 dari 25 kandidat presiden putaran pertama mengalihkan suara ke kubu Keita.
Suara koalisi itu membuat Keita head to head dengan Cisse di putaran kedua. Perwakilan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Ibu Kota Bamoko, Bert Koenders mengapresiasi kemenangan Keita.
''Ini transisi terpenting di Mali. Kita mengharapkan perdamaian lewat rekonsiliasi (dengan kelompok ''Islamis'') pemberontak,'' katanya, Selasa (13/8).
CBC News melansir, kemenangan Keita sudah ditebak sejak kemunculannya kembali. Namanya diharapkan mampu merangkul kelompok utara dalam meja rekonsiliasi. Kedekatannya dengan kelompok Islamis adalah modal kuat mengeluarkan Mali dari pemberontakan.