REPUBLIKA.CO.ID, Aisyah mengisahkan, seorang istri Rasulullah pernah iktikaf bersama dalam kondisi terkena istihadhah. Darah yang keluar tersebut berwarna merah dan kuning.
Untuk mengantisipasi agar darah tak menetes di lantai, ditaruhlah wadah di bawah yang bersangkutan ketika shalat. Riwayat ini terdapat dalam Shahih Bukhari-Muslim.
Syekh Ahmad juga membahas tentang hukum Muslim yang beriktikaf, dengan di tengah-tengah iktikafnya, keluar darah menstruasi. Maka bagaimana dengan iktikafnya, apakah tetap dilanjutkan?
Mengutip pendapat Al-Mawardi dalam kitab “Al-Hawi” dan Al Baghawi dalam “Syarh As-Sunnah”, yang bersangkutan harus keluar seketika itu juga dari masjid dan tidak lagi beriktikaf. Ini karena iktikafnya tersebut adalah sunah.
Permasalah ini, kata Syekh Ahmad, berkorelasi pada persoalan apakah perempuan yang tengah haid, boleh memasuki masjid atau tidak? Terjadi silang pendapat antarulama. Kelompok pertama mengatakan tidak boleh. Ini dipakai oleh Mazhab Maliki, Syafi’i, dan salah satu opsi pendapat Hanbali.
Sedangkan pendapat kedua, perempuan tersebut boleh memasuki masjid karena keperluan tertentu dan darurat. Pandangan ini dipilih oleh tokoh berjuluk Syekhul Islam, Ibnu Taimiyyah.
Mazhab lainnya mengatakan bahwa Muslimah yang tengah haid boleh masuk masjid selama aman dari pencemaran masjid akibat darah yang menetes. Pendapat ini ada dalam Mazhab Dhahiri, dan dikuatkan oleh Ibnu Hazm. Sebagian Mazhab Syafi’i dan Hanbali juga mendukung pandangan ini.