REPUBLIKA.CO.ID, PADANG - Mahkamah Konstitusi menerima sebanyak 400 perkara dalam pemilihan kepala daerah yang terjadi di Indonesia. "Dari 400 perkara yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), 11 persen bisa membuktikan terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan pilkada," kata Ketua MK Mahfud MD di Padang, Selasa.
Menurut dia, semua pemilihan umum kepala daerah pasti ada kecurangannya, namun ada yang signifikan dan ada yang tidak. "Perkara pilkada yang signifikan sebanyak 11 persen, sementara yang tidak signifikasi telah disalurkan ke pidana," katanya.
Sebagian besar, kata dia, perkara pilkada di Indonesia bersifat sporadis, sehingga bersifat hukum pidanan, bukan hukum tata negara. "Hal ini terlihat banyak bupati maupun wali kota di Indonesia sesudah diangkat masuk kepenjara," kata Mahfud MD.
Ia mengatakan undang-undang pemilu selalu mengalami perubahan, karena pembuat UU tersebut mempunyai agenda dalam jangka pendek saja. "Seharus UU pemilu dibuat hanya untuk sekali saja, bukan berkali-kali setiap ada pemilu lalu berubah lagi," katanya.
Menurut dia, setiap kali ada perubahan UU Pemilu, dapat memboroskan anggaran bagi proses pembahasan di DPR. "Bagaimana tidak, boros rentang waktu; untuk membahas sebuah pasal dan ayat saja dibutuhkan beberapa hari, belum lagi bab," katanya.
Terkait penambahan masa bakti Bupati, wali kota maupun gubernur di Indonesia, menurut Mahfud MD tidak menjadi persoalan, dimana Pemilu 2009 juga menunda pilgub dan pemilihan wali kota agar tidak mengganggu pemilihan umum legislatif.
"Mulai November 2013 tidak ada lagi kegiatan pemilihan kepala daerah, agar tidak mengganggu pemilihan umum legislatif," katanya.