Rabu 08 Aug 2012 19:45 WIB

Permohonan Perubah Komposisi Badan Kehormatan DPR Ditolak MK

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD.
Foto: Antara/Syaiful Arif
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan sejumlah pasal dalam UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau (MD3) terkait perubahan komposisi Badan Kehormatan (BK).

"Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Mahfud MD, saat membacakan amar putusan di Jakarta, Rabu (8/8).

Dalam pertimbangannya, MK mengatakan komposisi keanggotaan BK yang berasal dari utusan atau perwakilan dari berbagai fraksi dan representasi kekuatan politik akan memiliki kepentingan dan pandangan yang berbeda sehingga akan terjadi saling kontrol antar kekuatan yang ada.

Di samping itu, dasar untuk melakukan pengawasan dan menjatuhkan sanksi kepada anggota Dewan jelas dan memiliki ukuran objektif yaitu kode etik yang tertulis.

"Hal paling pokok adalah transparansi penyelesaian setiap laporan atas perilaku anggota Dewan yang masuk pada BK DPR. Pembentukan BK dan keanggotaannya juga merupakan pilihan politik hukum yang terbuka yang menjadi kewenangan pembentuk UU," kata Hakim Konstitusi Anwar Usman, saat membacakan pertimbangannya.

Artinya, lanjut Anwar, pembentuk UU dapat memilih memasukkan atau tidak memasukkan unsur masyarakat ke dalamnya. Dia juga mengatakan bahwa apapun pilihannya adalah koinstitusional, sehingga sebagai 'open legal policy', Mahkamah tidak berwenang menyatakan isi suatu UU itu inkonstitusional sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

"Fakta selama ini DPR sering mengabaikan pengaduan karena yang diadukan menyangkut koleganya di partai politik, maka dengan memasukan unsur masyarakat ke dalam BK DPR tidak menjamin semua pengaduan diselesaikan secara objektif dan transparan," kata Anwar.

Sedangkan untuk aturan rangkap jabatan, Mahkamah berpendapat ada dua aspek yang harus dinilai, adanya potensi timbulnya konflik kepentingan dalam pekerjaan yang dilakukannya, dan adanya pengaruh pekerjaan yang mengganggu waktu dan tugasnya sebagai anggota Dewan.

"Larangan aturan rangkap jabatan sudah tepat. Larangan yang terlalu luas tanpa batas terhadap anggota Dewan justru dapat menimbulkan pengaturan berlebihan dan tidak proporsional. Pelanggaran etik dan perilaku yang dilakukan oleh anggota Dewan atas kedua prinsip tersebut dapat dilakukan secara terus menerus oleh BK DPR melalui laporan masyarakat," kata Anwar Usman.

Seperti diketahui, permohonan pengujian UU MD3 ini dimohonkan oleh Judilherry Justam, Chris Siner Key Timu, dan M. Chozin Amirullah. Para pemhon ini menguji sejumlah pasal dalam UU MD3, di antaranya Pasal 123, Pasal 124 ayat (1), Pasal 208 ayat (2), Pasal 234 ayat (1) huruf f, dan Pasal 245 ayat (1).

Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya karena tidak dilibatkan dalam BK DPR , tidak lembaga atau komisi negara lainnya yang memasukan unsur masyarakat dalam BK atau Dewan Etik.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement