REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pakar Hukukm Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra menolak anggapan dirinya lebih condong membela kepolisian dalam kasus dugaan korupsi simulator SIM Mabes Polri.
"Saya tak bela Polri. Saya nggak urusan lebih senang kemana. Saya hanya menyarankan kalau semua harus taat pada prosedurnya saja," kata Yusril saat ditemui di Jakarta, Kamis (9/8).
Yusril mengatakan hanya melihat kepada sistem perundang-undangan, yakni terdapat perbedaan dalam aturan yang mengatur tugas kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Semua lembaga tersebut, lanjut dia, diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan, penyelidikan, dan penuntutan terhadap kasus korupsi.
Perbedaannya, jelas dia, jika salah satu institusi sudah melakukan penyidikan, maka institusi lain tidak memiliki kewenangan melakukan hal serupa. "Kalau KPK yang menyidik lebih dulu, maka jaksa dan polisi tidak berwenang lagi pada objek kasus yang sama," katanya.
Menurut Yusril, masalah siapa yang memiliki melakukan penyidikan dalam kasus simulator SIM itu memang masih belum jelas. Tapi tetap harus diselesaikan. Karena itu, dia menyarankan jika kedua lembaga masih mengklaim lebih dulu melakukan penyidikan, maka harus ada penyelidikan.
Upaya itu, kata dia, akan menjawab siapa lembaga yang memang lebih dahulu melakukan penyidikan. "Kalau tidak bisa juga presiden harus menengahi. Jika tidak bisa lagi, bisa di bawa ke MK, biar MK yang memutus," ungkapnya.
Menurut dia, solusi yang akan diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) dapat melalui Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN). Hal itu hanya dapat terjadi jika salah satu pihak beperkaralah yang mendaftarkan SKLN ke MK.