REPUBLIKA.CO.ID, Beribu tahun sebelum Masehi, seperti dikatakan Karel Sjobanz, orang Mesir kuno selalu menyandang tugas agama sehingga berkata:
“Orang lapar kuberi roti, orang yang tidak berpakaian kuberi pakaian, kubimbing kedua tangan orang-orang yang tidak mampu berjalan ke seberang, dan aku adalah ayah bagi anak-anak yatim, suami bagi janda-janda, dan tempat menyelamatkan diri bagi orang-orang yang tertimpa hujan badai.”
Agama-agama langit tentu saja lebih kuat dan lebih dalam lagi mendorong tingkat kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat.
Agama mengajarkan orang yang mampu menolong yang miskin, yang kuat menolong yang lemah, dan yang sehat menolong yang sakit.
Begitu juga dalam kitab Taurat disebutkan, “Barang siapa menyumbat telinganya akan tangis orang miskin, ia pun kelak akan berteriak. Tetapi, tiada yang mendengarkan suaranya. Dengan persembahan yang sembunyi, seseorang akan memadamkan murka. Orang yang baik matanya itu akan diberkahi karena ia telah memberikan rotinya kepada orang miskin.” (Taurat, Surat Amsal Pasal 21-22).
Begitu juga dalam Injil, banyak perintah Allah bagi umat Nasrani agar memiliki kepedulian sosial terhadap orang-orang miskin.
Dengan berbagai keterangan ini, dapat ditarik simpulan bahwa sesungguhnya tidak ada satu agama pun di dunia ini, baik agama Ardhi (bumi) maupun Samawi (langit), yang tidak memerintahkan kewajiban berzakat dalam membantu fakir miskin. Bahkan, kegiatan sosial ini sudah ada sejak zaman dahulu kala.