REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung (MA), Djoko Sarwoko, menilai perlu ada penelaahan kembali terhadap perkara yang telah diputus oleh Hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Kartini Juliana Mandalena Marpaung.
Dalam proses hukumnya, kata Djoko, sepertinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali turun tangan. "KPK mungkin perlu menelaah kembali putusan bebas Kartini," kata Djoko saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (22/8).
Namun, lanjut dia, seberapa besar urgensi hal itu kembali tergantung dari penyidikan yang dilakukan KPK. Dalam hal tersebut, Djoko berharap pada kepintaran KPK dalam mengorek informasi.
Menurut Djoko, dalam keterlibatannya, Kartini bisa saja berkolaborasi dengan pihak lain. "Tentu Kartini akan 'menggigit' yang lain. Mana mau dia jadi korban sendiri," ujar Djoko.
Pengamat Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fikar Fajar, menyarankan adanya proses hukum kelanjutan dari putusan yang telah dikeluarkan Kartini. Hal itu menyusul semakin terbukanya informasi bahwa Kartini kerap melakukan 'transaksi' peradilan selama menjabat sebagai hakim.
Karena itu, dia menyarankan kepada 'korban' Kartini untuk melakukan langkah hukum kelanjutan. "Bisa dengan banding, kasasi, atau pengajuan kembali (PK)," kata dia.
Jika itu tidak dilakukan, lanjut Fikar, putusan yang telah dikeluarkan Kartini menjadi berkekuatan hukum tetap (inkrah) dengan sendirinya. Apalagi terdapat nilai kebebasan hakim dalam melakukan putusan perkara.
Hal senada diungkapkan Ketua Komisi Yudisial (KY) Eman Suparman. Eman menyatakan, peningkatan perkara persidangan adalah langkah tepat dalam menentukan apakah putusan yang diambil Kartini sesuai prosedur aturan atau tidak.Namun, Eman mengingatkan bahwa kecurigaan tersebut harus juga dibuktikan.
"Harus ada pembuktian terlebih dahulu," ungkapnya.