REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Mahkamah Agung (MA) menilai sebaiknya jumlah Pengadilan Tipikor dikurangi.
Pengurangan tersebut diharapkan mampu memaksimalkan pengawasan setiap hakim dalam memutus perkara.
"Sebaiknya tidak banyak," kata Kepala Bagian Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Ridwan Mansyur, saat dihubungi ROL, Kamis (23/8).
Jumlah pengadilan Tipikor di daerah menurutnya tidak masalah jika dikurangi demi kepentingan maksimalisasi pengawasan. Yang penting, pengadilan ini tidak dihapuskan.
Eksistensi pengadilan Tipikor didukung oleh Undang-Undang (UU), sebagaimana pengadilan perikanan dan pajak. "Jadi memang harus ada. Tidak mungkin dihapuskan," papar Ridwan.
Selain pengadilan Tipikor, pihaknya juga menargetkan pengawasan ketat terhadap hakim-hakim, baik dari hakim tetap ataupun ad hoc. "Semuanya akan kita maksimalkan pengawasannya agar tidak terjadi lagi hakim terlibat suap menyuap, seperti yang diungkap KPK beberapa waktu lalu," imbuhnya.
Komisi Yudisial (KY) berpendapat tidak ada salahnya jika jumlah pengadilan Tipikor dikurangi. "Mengingat sulitnya mencari hakim ad hoc antikorupsi yang berkualitas dan berintegritas, ada baiknya MA mengupayakan aturan itu direvisi," kata Juru Bicara Komisi Yudisial, Asep Rahmat Fajar.
Rekomendasi Komisi Yudisial ini muncul setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap dua hakim ad hoc di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang dan Pontianak, pada Jumat, 17 Agustus 2012.
Hakim Kartini Marpaung dan Heru Kusbandono dicokok saat menerima suap Rp 150 juta, yang terkait dengan perkara korupsi Ketua DPRD Grobogan, M Yaeni.