REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Asrorun Ni'am Sholeh meminta pemerintah memberikan perlindungan kepada anak-anak yang menjadi korban insiden kekerasan di Sampang, Madura, Jawa Timur.
"Dalam kasus Sampang, perlindungan anak harus memperoleh perhatian serius untuk memutus mata rantai kekerasan. Jika ini tidak dilakukan, berarti secara sadar pemerintah melanggengkan kekerasan," kata Ni'am dalam pernyataan tertulisnya yang diterima ANTARA di Jakarta, Senin.
Lebih lanjut ia mengatakan perlindungan anak dalam kasus kekerasan massa di Sampang tersebut setidaknya dilakukan pada dua level sekaligus, pertama perlindungan fisik dengan mengevakuasi anak dari wilayah konflik, menjamin anak terbebas dari trauma dari dampak kekerasan.
Perlindungan anak pada level pertama ini, kata Ni'am, harus dilakukan oleh aparat kepolisian serta dinas sosial dengan mengevakuasi anak-anak korban kekerasan dan menyembuhkan mereka dari trauma akibat kekerasan fisik saat konflik horizontal terjadi.
"KPAI minta Mensos untuk bergerak cepat dengan Unit Reaksi Cepatnya mengevakuasi anak-anak dan menyembuhkan trauma. Pemerintah harus menjamin hak-hak anak terkait sosial dan kesehatan baik fisik maupun psikisnya, termasuk relasi sosial, untuk menjamin tumbuh kembang secara wajar, bebas dari trauma dan dendam," katanya.
Sedangkan perlindungan level kedua, kata Ni'am, adalah perlindungan pada aspek pemenuhan hak keagamaan dan pendidikan. "Pemerintah harus menjamin pemenuhan hak agama dan pendidikan anak secara baik dan benar, serta terbebas dari doktrin yang menyimpang," kata Ni'am yang juga Direktur Lembaga Studi Agama dan Sosial.
Dikatakannya, perlindungan agama anak merupakan bagian integral dari bentuk perlindungan anak sebagaimana diatur dalam Undang Undang Perlindungan Anak, khususnya?Pasal 43 yang menegaskan negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali, dan lembaga sosial menjamin perlindungan anak dalam memeluk agamanya melalui pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak.
Untuk itu, lanjut Ni'am, Kementerian Agama yang memiliki mandat urusan agama harus proaktif memberikan pembinaan anak-anak dengan ajaran agama yang benar.
Kalau dalam konteks pemahaman keagamaan ada indoktrinasi ajaran yang menyimpang, lanjutnya, maka negara harus hadir untuk membebaskan anak-anak dari ajaran yang menyimpang tersebut, tentunya melalui langkah persuasif dan dakwah yang bijak.
"Jika ternyata itu hanya perbedaan mazhab fikih, perlu ada edukasi untuk toleran dalam menyikapi perbedaan serta tidak terjebak pada ekstrimitas dalam beragama. Jika tidak, berarti Pemerintah secara sadar memelihara bom waktu kekerasan yang disemai sejak kecil," ujarnya.
Selanjutnya pada level penegakan hukum, KPAI meminta aparat kepolisian untuk menuntaskan kasus kekerasan ini secara hukum, dan bergerak dalam koridor hukum. "Di mana titik pelanggarannya harus diambil langkah hukum yang tegas serta tidak pandang bulu," ujar Ni'am.