REPUBLIKA.CO.ID, BOGOTA -- Pemerintah Kolombia membuka negosiasi formal bersama Kelompok Tentara Revolusi Kolombia (FARC). Presiden Kolombia Juan Manuel Santos, melalui siaran televisi, pemerintah mengatakan penjajakan damai untuk mengakhiri konflik menua itu akan berlangsung.
''Beberapa hari mendatang, langkah (dimulainya) dialog dengan FARC akan menjadi terkenal (pemberitaan besar),'' kata Juan, seperti dikutip The Associated Press, Selasa (28/8).
Mantan Wakil Presiden Kolombia, Francisco Santos, mengatakan kemajuan yang positif akan membawa rekonsiliasi untuk mengakhiri perselisihan kedua pihak. Kata dia, pertemuan untuk membicarakan perundingan bertempat di Oslo, Norwegia, 5 Oktober mendatang, dan selanjutnya akan dibawa ke Havana, Kuba untuk ditandatangi.
Tawaran rekonsiliasi ini ditanggapi baik oleh beberapa mantan pejabat negara. Juru damai pada 1995-1998 Daniel Garcia Pena mengaku yakin perdamaian kali ini akan berhasil. Dia tidak menjelaskan indikator keberhasilan mediasi kali ini. Hanya saja menurut dia pemerintah dan FACR saling memahami bahwa melanjutkan peperangan adalah tidak masuk akal.
FACR, kata dia, juga memahami dengan berjuang selama lima dekade ini di luar pemerintahan tidak akan membawa arti dalam perjuangannya. ''Mereka harus menjadi kekuatan politik jika tetap ingin melanjutkan perjuangannya,'' kata Garcia.
Belum ada pernyataan resmi dari FARC atas rencana perundingan kali ini. Namun sumber di pemerintahan mengatakan tawaran damai kali ini adalah keinginan presiden sendiri. ''Belum ada kejelasan. Tapi Presiden (AS) Barack Obama menyadari proses (damai) itu,'' kata sumber, seperti di kutip Reuters, Selasa (28/8).
Mantan Presiden Alvaro Uribe mengeritik langkah pemerintah untuk melakukan negosiasi damai. Menurut dia FARC adalah gerakan terorisme yang melakukan perlawanan terhadap keamanan negara. Melalui akun Twitter, mantan presiden 2002-2010 ini mengatakan langkah pemerintah tersebut hanya akan membuat kelompok besutan Manuel Marulanda (1964) ini semakin menguat.