Ahad 02 Sep 2012 09:25 WIB

Inilah 3 Tipe Orang Beragama

  Seorang ayah bersama anaknya tengah menanti pelaksanaan shalat Idul Fitri di Kandy, Srilanka, Ahad (19/8).  (Dinuka Liyanawatte/Reuters)
Seorang ayah bersama anaknya tengah menanti pelaksanaan shalat Idul Fitri di Kandy, Srilanka, Ahad (19/8). (Dinuka Liyanawatte/Reuters)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhbib Abdul Wahab

Sangat disayangkan kekerasan atas nama agama kembali terjadi. Kali ini di Sampang, Madura, pada bulan yang belum terlalu lama berpisah dari Ramadhan. Syawal yang bernuansa silaturahim dan saling memaafkan, tiba-tiba berubah menjadi pertumpahan darah, pembakaran rumah-rumah, pengusiran, dan tindakan brutal.

Rasul bersabda, “Kalian tidak akan masuk surga sebelum beriman, dan kalian tidak dikatakan beriman sebelum saling mencintai. Maukah aku tunjukkan suatu ajaran yang jika kalian lakukan, kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian." (HR Muslim dari Abu Hurairah).

Hadis tersebut menunjukkan bahwa beragama dengan damai (salam) dapat membuahkan sikap saling mencintai. Saling mencintai merupakan salah satu bukti keimanan seseorang. Dan, iman mengantarkan pada surga.

Menurut Ibnu Sina, ada tiga tipe orang beragama. Pertama, beragama ibarat relasi buruh-majikan atau budak-tuan. Budak atau buruh akan melakukan pekerjaan apabila ada instruksi atau perintah dari sang majikan. Orang yang beragama seperti ini baru sebatas melakukan kewajiban agama. Keberagamaannya bergantung pada orang lain atau lingkungan, tidak dilandasi kesadaran personal, kemandirian, dan kebutuhan spiritual-internal.

Kedua, beragama ibarat relasi pedagang-pembeli. Keduanya sama-sama mencari untung; pedagang menginginkan laba besar, sementara pembeli menghendaki harga semurah-murahnya. Beragama tipe ini cenderung pamrih, riya, dan melihat situasi dan kondisi yang menguntungkan dirinya jika melakukan kewajiban beragama.

Baginya, amal sosial harus mempunyai nilai publikasi, pencitraan, subjektivifikasi, bahkan legitimasi untuk kepentingan subjektifnya. Padahal, setelah kepentingannya tercapai dan kekuasaan politik direbut, pada umumnya agama dipinggirkan, kalau tidak dilupakan.

Ketiga, beragama ibarat relasi ibu-anak. Hanya, sang ibu rela mengandung, mempertaruhkan nyawa saat melahirkan, membesarkan, memberi perhatian, dan mendidik kita semua pasti bukan karena pamrih, melainkan karena cinta.

Kekuatan cinta mengalahkan segala macam penderitaan. Beragama dengan cinta tidak hanya dilandasi ketulusan dan kejujuran, tetapi kesediaan untuk menerima, berbagi, berkomitmen, dan rela berkorban demi masa depan yang lebih baik.

Cinta ibu kepada anaknya adalah cinta sejati, sehidup semati. Beragama yang sejati pasti dilandasi cinta Ilahi dan cinta terhadap sesama. Jika Allah yang paling dicintainya, mestinya seseorang tidak dengan mudah menumpahkan darah terhadap manusia yang diciptakan oleh-Nya dengan penuh kasih sayang.

Beragama dengan cinta membuahkan sikap dan perilaku "sami'na wa atha'na" (mau belajar, terbuka, dan selalu taat), serta toleransi. Menurut al-Ghazali, cinta karena Allah dan mendapatkan cinta-Nya merupakan tujuan akhir pendakian maqam demi maqam dalam rangka pendekatan diri kepada Allah.

Jika cinta karena Allah dalam beragama itu sudah dapat diaktualisasikan, nicaya Muslim akan selalu rindu (syauq) bila tidak berkomunikasi dengan-Nya. Hatinya selalu tergerak untuk membasahi lisannya dengan zikir kepada-Nya dan menghiasi perilakunya dengan amal yang diridhai Allah. Wallahu a'lam.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement