Selasa 04 Sep 2012 15:48 WIB

Fenomena Al-Ghazali (3)

Rep: Heri Ruslan/ Red: Chairul Akhmad
Imam Al-Ghazali (ilustrasi).
Foto: encyclopedia.com
Imam Al-Ghazali (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Di kota kelahirannya, Al-Ghazali mempelajari beragam cabang ilmu agama Islam. Semangat belajarnya begitu tinggi telah memacunya untuk mencari ilmu hingga ke Gurgan dan Nishapur yang terletak di bagian utara Iran.

Dari Syekh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani, ia berguru ilmu fikih. Tak puas dengan ilmu yang telah dikuasainya, Al-Ghazali hijrah ke Gurjan untuk menimba ilmu dari Imam Abu Nashr Al-Isma'ili.

Demi mendapatkan ilmu, Al-Ghazali dengan penuh semangat datang Kota Nishapur untuk berguru kepada Imam Haramain Al-Juwaini.

Berbekal kesungguhan dan otak yang encer dalam waktu yang tak terlalu lama, Al-Ghazali pun mampu menguasai beragam ilmu keislaman, seperti fikih mazhab Syafi'i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, mantiq, hikmah, dan filsafat.

Prestasinya yang sungguh luar biasa telah membuat sang guru kagum kepadanya. Salah satu karyanya yang mengundang decak kagum Imam Haramain adalah Al-Juwaini. Sepeninggal sang guru, Imam Al-Ghazali pun mulai melanglang buana. Ia pun singgah ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik dari Dinasti Seljuk.

Di tempat itu tengah berkumpul para ilmuwan dan cendekiawan. Imam Al-Ghazali lalu mengajak mereka untuk berdebat. Bermodalkan ilmu yang begitu dalam dan banyak, Al-Ghazali pun diakui kehebatannya oleh para ulama. Kecerdasan dan kepandaian Al-Ghazali pun mampu memincut perhatian Sang Wazir.

Nidzamul Malik pun menabalkannya sebagai pimpinan Madrasah Nizamiyyah yang berada di Baghdad pada 484 H/1091 M. Di usianya yang baru menginjak 30 tahun, pamor Al-Ghazali pun kian moncer. Kedudukannya makin tinggi dan reputasinya sebagai seorang ulama kian termasyhur.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement