REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mata rantai terorisme di Indonesia sudah menyentuh paparan ideologi terorisme anak-anak dan remaja. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai bahwa kondisi tersebut memperlihatkan kegagalan negara dalam memutus rantai terorisme.
Wakil Ketua KPAI Asrorun Ni'am Sholeh, Kamis (13/9), mengatakan, "Ketika ada potensi terjadinya doktrinasi ideologi radikal pada anak, negara harus hadir untuk mencegahnya. Hal ini bagian dari upaya perlindungan anak yang diamanatkan undang-undang.”
Sebelumnya, kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyad Mbai beberapa waktu lalu menjelaskan, salah satu terduga pelaku terorisme di Solo, Farhan, adalah darah biru teroris, yang merupakan anak kandung Sunarto. Pada saat kejadian upaya tindak pidana terorisme oleh Sunarto, Farhan masih berusia 12 tahun, dan kemudian ia memperoleh pendadaran serta pembinaan dari ayah tirinya, Abu Umar.
"Ini artinya BNPT sudah mengetahui potensi terjadinya transfer ideologi terorisme kepada anak, dan BNPT tidak melakukan langkah-langkah konkret untuk mencegahnya hingga kemudian ia menjadi pelaku,” ujar Ni'am. Dalam konteks ini, dia menilik adanya pembiaran negara terhadap anak yang terdoktrinasi ideologi kekerasan.
Kondisi ini, lanjut Ni'am, bertentangan dengan UU Anak yang menekankan anak harus dilindungi dari paparan ideologi yang menyimpang. Dalam konteks ini adalah doktrinasi kekerasan dan terorisme. Apalagi, katanya, kasus terorisme yang melibatkan pelaku usia remaja, tidak mungkin terjadi tanpa adanya doktrinasi di saat usia anak-anak, baik di lingkungan keluarga maupun di dalam pergaulannya.