Sabtu 22 Sep 2012 07:00 WIB

Dr Hamid Fahmy Zarkasyi: Pelayanan Pajak Perlu Jemput Bola

Sejumlah petugas pajak melayani  pengisian dan penyerahan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Wajib Pajak.
Foto: Yudhi Mahatma/Antara
Sejumlah petugas pajak melayani pengisian dan penyerahan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Wajib Pajak.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Genap 67 tahun sudah Indonesia merdeka dari penjajahan dan kolonialisme asing. Kemerdekaan tersebut diraih dengan susah payah sehingga tidak boleh disia-siakan begitu saja. Karena itu, masyarakat Indonesia harus mendukung pembangun nasional guna mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang mulia. Salah satunya dengan membayar pajak. Karena pajak adalah sumber utama pembangunan.

Terkait hal ini, Ketua Majelis Inteletual dan Ulama Muda (MIUMI), Dr.Hamid Fahmy Zarkasyi menyambut baik upaya penarikan pajak ke masyarakat. ''Secara umum, ditinjau dari segi agama, penarikan pajak ke masyarakat diperbolehkan. Dalam Sejarah Islam, dahulu ada penarikan dana secara massal dan itu tidak jadi masalah,'' kata dia.

Pada 2012 ini, pemerintah menargetkan pendapatan negara dari sektor pajak sebesar Rp 885 triliun. Pada semester pertama tahun ini, penerimaan pajak baru sekitar 45 persen dari target (Rp. 387 triliun). Pelambatan penerimaan pajak ini bisa jadi karena faktor eksternal (dampak krisis global) maupun faktor internal (menurunnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak). Karenanya, untuk mengejar target penerimaan pajak, Direktorat Jenderal Pajak meluncurkan sejumlah kebijakan. Di antaranya adalah menggelar Sensus Pajak Nasional guna menjangkau wajib pajak baru dan verivikasi data bagi wajib pajak lama.

Terkait itu, Fahmy menilai upaya peningkatan penerimaan pajak tak terbatas hanya pada pelaksanaan sensus, namun masih ada beberapa cara lainnya. Peran dirjen untuk lebih pro aktif melakukan jemput bola merupakan salah satu caranya. ''Yang kita ketahui selama ini masyarakat yang datang ke kantor pajak untuk membayar pajak mereka. Nah, sekarang upaya jemput bola seperti layanan mobil keliling pajak perlu digalakkan,'' kata dia. Upaya tersebut bisa sekaligus untuk memberikan pendidikan tentang pajak kepada masyarakat.

Dia juga menyarankan pemerintah untuk lebih mengoptimalkan penarikan pajak dari perusahaan-perusahaan besar seperti tambang dan lainnya. Sumbangan perusahaan-perusahaan tersebut untuk negara, dinilainya masih sangat kecil. Selain itu, sektor-sektor yang sering ditemui dalam kehidupan sehai-hari seperti penarikan parkir perlu dioptimalkan. ''Masih banyak parkir liar di daerah-daerah dan kita tidak tahu sumbangsih dan besarnya penghasilan dari sektor itu,'' kata Fahmi.

Sementara itu, berdasarkan data dari Dirjen Pajak, terdapat tren peningkatan signifikan jumlah wajib pajak dalam beberapa tahun terakhir.Pada 2006, jumlah WP terdaftar sebanyak 4.805.209 WP. Angka tersebut kemudian meningkat pada berturut-turut menjadi 7.137.023 WP pada 2007, 10.682.099 WP pada 2008, dan 15.911.576 WP pada 2009. Dua tahun berikutnya, jumlah WP terdaftar melonjak tajam menjadi 19.112.590 WP pada 2010 dan 22.319.073 WP pada 2011.

Meski terdapat peningkatan, namun, menurut dia, upaya penarikan pajak masih belum efektif dan perlu perbaikan. ''Cuma sekarang ini masih belum maksimal dan efektif. Masih banyak perusahaan beromset besar yang tidak membayar pajak. Sementara pengusaha kecil dipukul rata,'' kata dia. Dia mengkritisi tingkat kepatuhan wajib pajak terutama perusahaan besar. ''Kontribusi perusahaan besar untuk membayar pajak masih kecil. Selain itu, juga masih ada upaya manipulasi oleh ‘oknum pejabat pajak’ dengan merubah angka-angka besaran pembayaran pajak menjadi kecil,'' lanjut dia.

Karenanya, untuk mengantisipasi penyelewengan itu, Ditjen Pajak memperbaiki sistem PPN. Tahapan awal perbaikan sistem PPN adalah dengan melaksanakan registrasi ulang pada Pengusaha Kena Pajak (PKP). Ditjen Pajak berencana akan mencabut sekitar 300 ribu PKP yang berpotensi menyelewengkan faktur pajak.

Selama ini status PKP rawan disalahgunakan oleh pengusaha dengan menerbitkan faktur pajak fiktif. Sejauh ini Ditjen Pajak telah mencabut sekitar 21 ribu perusahaan yang memiliki status PKP. Perusahaan-perusahaan tersebut dicabut status PKP-nya karena berstatus non-efektif dalam melaporkan pajaknya. Langkah Ini diharapkan dapat mencegah kebocoran dalam penerimaan pajak PPN.

Dalam rangka memperingati hari kemerdekaan RI ke-67 ini, maka mutu pelayanan pajak juga harus ditingkatkan. Jika pelayanan pajak memuaskan maka ini akan meningkatkan tingkat kepatuhan untuk membayar pajak. Untuk kedepannya, Fahmi menyarankan agar pemerintah memberikan pelatihan tentang cara menghitung pajak kepada masyarakat. Hal ini agar pelayanan pajak lebih transparan. ''Selama ini yang tahu cara menghitung pajak kan cuma pemerintah. Masyarakat kecil tidak tahu. Makanya, dengan langkah ini diharapkan pemerintah bisa lebih transparan,'' tambah dia.

Pemerintah juga perlu meningkatkan profesionalitas jajaran pengelola pajaknya. Salah satu caranya dengan pendisiplinan terhadap oknum-oknum tertentu yang menyalahgunakan wewenang dan terlibat korupsi. Fahmi mencontohkan, di negara barat, para wajib pajak tidak bisa lari dari membayar pajak. Hal ini karena pemerintah di sana ada aturan jelas dan tegas kepada para pengemplang pajak. Dia menyarankan agar Indonesia pelu mencontoh itu. ''Perlu kepemimpinan tegas di sektor pajak.” ujarnya. (adv)

sumber : ditjen pajak
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement