REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peneliti senior dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), J Kristiadi meminta agar presiden sesegera mungkin mengambil tindakan terhadap masalah yang terjadi antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Polri. Pasalnya, kesabaran masyarakat terhadap masalah ini sudah dalam batas akhir.
"Masyarakat sudah pada tingkat tidak sabar lagi. Batas kesabaran masyarakat itu ada batasnya. Kalau tidak segera, akan ada anarki sosial, menurut saya," kata dia di Jakarta, Selasa (8/10).
Ia menilai, yang harus diselamatkan dari konflik antara KPK-Polti itu adalah harapan masyarakat. Karena, itu merupakan lentera untuk dapat maju dan melakukan perbaikan. Sehingga, presiden sebagai pemegang amanah langsung dari rakyat harus segera dapat mengambil tindakan.
Presiden, tutur Kristiadi, harus bisa mengatakan bahwa KPK merupakan lembaga yang dibentuk karena institusi hukum yang ada belum berfungsi sebagaimana mestinya. Namun, hingga kini, belum bisa dipercaya sehingga penegakan hukum yang berjalan menjadi lemah.
"Karena itu, presiden harus bisa mengatakan, 'Polisi kamu sekarang sebaiknya serahkan kasus ini kepada KPK. Agar tidak ada conflict of interest, Kedua membangun kredibiltas di tubuhnya sendiri. Kemudian membersihkan polisi itu sendiri dari dugaan seperti itu. Mesti begitu presiden itu," tegas dia.
Ia pun membantah kalau tindakan itu dikategorikan sebagai bentuk intervensi presiden terhadap proses hukum yang berjalan. Pasalnya, Polri merupakan institusi yang langsung berada di bawah presiden. "Ini tidak intervensi. Presiden itu intervensi kalau mengambil urusan kepolisian di Malaysia, di Singapura, di Brazil. Itu intervensi," lanjutnya.
Jika presiden tak melakukan hal itu, ia khawatir akan muncul banyak kecurigaan. Muncul banyak analisis spekulatif yang mempertanyakan sikap presiden. Hal itu dipandang akan berbahaya, pasalnya dapat membuat isu yang berkembang menjadi semakin liar.
"Jadinya bisa bermacam-macam. Yang paling menyedihkan, orang bertanya, presiden di mana engkau?," ujarnya.
Apalagi saat ini masyarakat telah melihat kalau negara ini tidak memiliki kepemimpinan. Yaitu kepemimpinan yang dapat memberikan arah yang jelas bagi kemajuan bangsa.
"Siapa kepemimpinan paling sentral? Tentu itu kesepakatan dari rakyat dan parpol. Tapi kepemimpinan yang diperlukan adalah presiden harus bertindak sesuai dengan mandat konstitusi. Yaitu sebagai penguasa pemerintahan tertinggi. Yang dibentuk ini pemerintah Indonesia. Bukan pengimbau Indonesia. Itu penting, jangan hanya mengimbau sana sini," ungkap dia.
Jadi, jika ada bawahannya yang tidak taat kepada garis kebijakan partai, maka harus dikenakan sanksi.