REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Setelah satu dekade menjalani pemerintahan sekuler, Tunisia berniat mengembangkan perbankan syariah. Akan tetapi ada isu beredar pengembangan ekonomi syariah ini bertujuan lebih dari sekadar ekonomi, yaitu ingin memenangkan dukungan pemilih, alias politisasi ekonomi.
Pemerintah di Afrika bagian utara mempromosikan ekonomi syariah di tengah pemberontakan Arab tahun lalu. Melalui pemberontakan ini mereka menggulingkan rezim-rezim yang mengabaikan bisnis dengan alasan ideologi.
Perubahan kebijakan akan membawa keuntungan ekonomi dan memberikan negara-negara tersebut lebih bannyak akses ke dana investasi syariah dari Teluk. Sayangnya hal ini tidak terjadi di tunisia karena tercium adanya bau kontroversi, yang memanfaatkan ekonomi syariah untuk alasan politik.
"Tunisia ingin menjadi pusat regional untuk keuangan syariah," ujar Perdana Menteri Tunisia, Hamadi Jbeli, baru-baru ini. Jbeli adalah seorang anggota gerakan Islam Moderat Ennahda yang mengarahkan pemerintah tunisia untuk menggulingkan presiden Tunisia, Zine Al Abidine bin Ali, tahun lalu.
Ia mengatakan pihak berwenang akan memastikan bank syariah mampu bersaing dalam pangsa pasar dengan perbankan konvensional. Namun beberapa saingan politik Ennahda menuduh gerakan ini menggunakan isu syariah sebagai pelatuk untuk menarik dukungan. Tunisia akan melaksanakan pemilu tahun depan dan Ennahda dituding mencari dukungan menggunakan embel-embel 'syariah'.
Seorang pejabat partai sekuler, Adel Chaouch, mengungkapkan ekonomi syariah yang digadang-gadangkan beberapa bulan terakhir hanyalah sebuah propaganda sebelum pemilihan umum. "Membicarakan tentang bank syariah hanya akan meningkatkan perpecahan diantara masyarakat Tunisia," ujar Chaouch.