REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa mengatakan akan menghapuskan hukuman mati di Indonesia dengan dalih sebagian besar anggota Perserikatan Bangsa Bangsa telah menyetujui penghapusan hukuman ini.
Pengamat hukum internasional dari Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, mengatakan pernyataan tersebut hanya untuk pembenaran tindakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
"Seolah ingin membenarkan tindakan Presiden SBY yang memberi grasi (kepada bandar narkoba) berupa perubahan hukuman mati ke hukuman seumur hidup," kata Hikmahanto Juwana dalam rilisnya kepada Republika, Rabu (17/10).
Hikmahanto menambahkan seharusnya pemerintah Indonesia tidak hanya mengikuti tren negara-negara lain dengan rencana penghapusan hukuman mati. Apalagi Indonesia memiliki kedaulatan dan dapat menentukan sendiri apakah hukuman mati dapat diterapkan atau tidak di Indonesia.
Selain itu, ada institusi lain yang juga memiliki kewenangan dalam menentukan penerapan hukuman mati tersebut. Misalnya Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan hukuman mati merupakan hukuman yang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Ia pun menganggp pernyataan Menlu tersebut tidak tepat saat publik sedang geram dengan keputusan Presiden SBY dalam memberi grasi dan mengubah hukuman mati kepada bandar narkoba menjadi hanya hukuman seumur hidup. Ia juga meragukan keseriusan pemerintah dalam melawan kejahatan serius seperti peredaran narkoba di Indonesia.
"Seharusnya Menlu sadar publik sudah sangat cerdas dan tidak bisa lagi didikte dengan analogi-analogi ataupun data yang melegitimasi kebijakan pemerintah," tukasnya.