REPUBLIKA.CO.ID, Kesimpulannya, Qardhawi menekankan dua hal dalam persoalan ini untukmengambil sikap, yaitu:
Pertama, bahwa berjabat tangan antara laki-laki danperempuan itu hanya diperbolehkan apabila tidak disertaidengan syahwat serta aman dari fitnah.
Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwat dan taladzdzudz (menikmati hal tersebut) dari salah satunya atau bahkan keduanya, maka keharaman berjabat tangan tidakdiragukan lagi.
Seandainya kedua syarat ini tidak terpenuhi, yaitu tiadanya syahwat dan aman dari fitnah, meskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan mahramnya seperti bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya, mertuanya, atau lainnya, maka berjabat tangan pada kondisi seperti itu adalah haram.
Bahkan, berjabat tangan dengan anak yang masih kecil pun haram hukumnya jika kedua syarat itu tidak terpenuhi.
Kedua, hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan saja, seperti yang disebutkan dalam pertanyaan di atas, yaitu dengan kerabat atau semenda (besan) yang terjadi hubungan yang erat dan akrab diantara mereka. Dan tidak baik hal ini diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat, mengambil sikap hati-hati, dan meneladani Nabi SAW.
Tidak ada riwayat kuat yang menyebutkan bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan wanita lain yang bukan kerabat atau tidak mempunyai hubungan yang erat.
Namun, yang lebih utama bagi seorang Muslim atau Muslimah yang komitmen pada agamanya, janganlah memulai berjabat tangan dengan lain jenis. Tetapi, apabila diajak berjabat tangan barulah ia menjabat tangannya.
Demikianlah yang ditetapkan oleh Qardhawi dalam fatwanya. Keputusannya ini untuk dilaksanakan oleh orang yang memerlukannya tanpa merasa telah mengabaikan agamanya, dan bagi orang yang telah mengetahui tidak usah mengingkarinya selama masih ada kemungkinan untuk berijtihad. Wallahu a’lam.