REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Banyaknya jamaah yang wafat sebelum puncak pelaksanaan haji, membuat anggota DPR Komisi VIII yang meninjau langsung ke tanah suci prihatin. Mereka meminta jamaah yang wafat agar dapat dibadalkan.
Namun, Direktur Pembinaan Haji, Kementerian Agama, Ahmad Kartono menyatakan, selama ini pemerintah memang tidak melaksanakan badal haji bagi jamaah yang wafat. Pasalnya, Kemenag memiliki pedoman lain soal badal haji.
Menurut Kartono, ada dua pendapat berbeda terkait pelaksanaan badal haji bagi jamaah yang meninggal. Pertama, badal harus dilakukan bisa dilakukan karena jamaah belum melaksanakan wukuf.
Kedua, badal haji tidak harus dilakukan, karena jamaah yang meninggal sebelum menunaikan wukuf sudah dianggap melaksanakan ibadah haji. Kemenag berpedoman pada pendapat kedua. Artinya, pemerintah tidak wajib membadalhajikan jamaah yang meninggal sebelum wukuf. Terlebih, sesuai persetujuan DPR, badal haji dilaksanakan untuk jamaah yang sedang sakit di ICU.
"Sesuai persetujuan DPR, kita hanya melaksanakan badal pada jamaah sakit yang ada di ruang ICU di tanah suci," ungkap Kartono pada Republika, Rabu (17/10).
Kartono menambahkan, kalau Komisi VIII meminta kemenag membadalkan jamaah yang meninggal, pemerintah semakin senang. Sebab, selama ini aturan badal haji hanya untuk jamaah sakit di ICU. Selain itu pemerintah tidak berkewajiban membadalhajikan jamaah. Semua kunci badal haji tergantung dari persetujuan anggota DPR.
Menurut Kartono, dana badal haji diambil dari hasil dana optimalisasi Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Hasil dana optimalisasi tersebut disisihkan sebagian untuk pelaksanaan badal haji ini. Kartono menganggap, tidak ada masalah dengan dana di Kemenag untuk pelaksanaan badal haji. Yang terpenting, kata dia, ada persetujuan DPR terkait hal itu. Kalau DPR menyetujui, Kemenag justru sangat senang.
"Dana sebenarnya bukan masalah, tergantung persetujuan DPR," tambah dia.