REPUBLIKA.CO.ID, Di dalam hadis lain Nabi SAW bersabda, "Tidak pernah dihalalkan ghanimah kepada seorang nabi pun sebelum kita. Halalnya ghanimah bagi kita karena Allah mengetahui kelemahan dan ketakberdayaan kita.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sedangkan dasar hukum fai adalah firman Allah SWT, “Dan apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda pun dan (tidak pula) seekor unta pun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
“Apa saja harta rampasan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (Juga) bagi fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridaan-(Nya)." (QS. Al-Hasyr: 6-8).
Hukum Ghanimah
Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa harta ghanimah itu harus dibagi di wilayah Islam. Alasannya adalah karena pemilikan harta ghanimah tidak sempuma kecuali setelah dikuasai, dan penguasaan itu tidak sempuma kecuali setelah dibawa ke wilayah Islam.
Akan tetapi, mereka berpendapat jika imam membagi harta ghanimah itu di medan perang atau di wilayah musuh karena tuntutan keadaan tertentu, maka hukumnya adalah boleh.
Akan tetapi, jumhur ulama (Mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hanbali), ulama Mazhab Az-Zahiri, ulama Syiah Zaidiah dan Imamiah berpendapat bahwa imam boleh membagi harta ghanimah di wilayah musuh, dengan alasan Nabi SAW melakukan hal yang demikian pada Perang Hunain (HR. Bukhari dan Tabrani) dan perang dengan Bani Mustaliq (HR. Baihaqi).