REPUBLIKA.CO.ID, Mazhab Hanbali menyatakan, menunda haid dengan mengkonsumsi obat diperbolehkan.
Ini dengan dua catatan, yaitu penggunaannya tidak berefek negatif pada kesehatan pemakainya dan bagi yang telah bersuami tindakan tersebut harus mendapat persetujuan suami.
Hal ini karena suami berhak untuk mendapatkan keturunan. Dan, ini hanya bisa tercapai bila siklus haid berjalan normal.
Permasalahan serupa juga pernah mengemuka di Dar al-Ifta. Lembaga fatwa otoritatif Mesir tersebut berpendapat, mengkonsumsi obat penunda haid agar bisa maksimal berpuasa atau tawaf diperbolehkan.
Tetapi, ini boleh dengan syarat harus atas dasar rekomendasi dokter. Pemakaiannya pun harus dinyatakan tidak berdampak buruk bagi pengguna, baik efek yang bersifat langsung ataupun tak langsung. Jika berbahaya maka pemakaiannya dilarang.
Komite Fatwa Arab Saudi menegaskan, Muslimah boleh menggunakan obat penunda haid untuk ujuan pemaksimalan haji, umrah, dan puasa Ramadhan. Lembaga ini memberi catatan, penggunaannya tak boleh menyebabkan bahaya bagi konsumen.
Ia dinyatakan tidak perlu mengqadha atau mengganti ibadah selama masa siklus haid itu tertunda. Misalnya, puasa Ramadhan.
Pendapat Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin agak berbeda. Ia berpandangan, perempuan jangan sampai mengkonsumsi obat penunda haid. Tidak hanya saat Ramadhan, tetapi juga kesempatan lainnya. Pendapat ini disampaikan setelah ia memperoleh laporan hasil temuan para dokter perihal bahaya di balik mengkonsumsi obat tersebut.
Obat ini mengancam kesehatan janin, saraf, dan sirkulasi darah. Namun, sebagian kalangan membaca pendapat tokoh ini bukan sebagai bentuk larangan. Melainkan, sekadar catatan. Artinya, mengkonsumsi obat itu tetap boleh, dengan catatan tidak menimbulkan efek samping yang justru membahayakan.