REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Irak membatalkan kesepakatan pembelian senjata Rusia senilai USD 4,2 miliar atau sekitar Rp 42 triliun secara sepihak. Rusia yang selama ini memasok senjata Irak pun menuding AS dalang dibalik pembatalan tersebut.
Kepala Pusat Analisis Perdagangan Senjata Dunia yang berbasis di Moskow, Igor Korotcheno mengatakan, pemerintah Irak memutuskan hubungan jual beli tersebut karena tekanan AS. Pasalnya, jika Irak membeli senjata dari Rusia maka akan membuat AS merasa kehilangan Irak.
"Segera setelah kesepakatan itu diumumkan sebulan yang lalu, saya berpikir AS tidak akan membiarkan Irak membeli senjata dalam jumlah besar dari Rusia. Washington (Pemerintah AS) menganggap hal ini sebagai sebuah skenario yang benar-benar tidak dapat diterima," tuturnya.
Menurut Pakar Militer Rusia tersebut, pembatalan kesepakatan senjata sebelumnya tak pernah dialami Rusia. Sepanjang sejarah perdagangan senjata Rusia, baru kali ini terjadi pembatalan perdagangan. "Benar-benar belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah perdagangan senjata Rusia," kata Korotchenko.
Sementara itu, Perdana Menteri Irak Nouri Maliki mengumumkan pembatalan pada Sabtu (10/11) dengan alasan kecurigaan korupsi dalam kesepakatan tersebut. Dugaan tersebut pun saat ini tengah diselediki Irak.
"Kami memutuskan untuk meninjau seluruh kesepakatan. Ada penyelidikan yang sedang berlangsung terkait hal ini," ujarnya seperti dikutip BBC.
Namun menurut Korotchenko, alasan korupsi tersebut tak dapat diterima. Alasan korupsi hanyalah penutup alasan sebenarnya, tekanan AS.
"Saya tidak melihat ruang lingkup apapun terkait korupsi dalam kesepakatan Irak. Saya yakin ini hanyalah dalih dan alasan yang membenarkan bahwa Washington meberikan tekanan pada Baghdad (Pemerintah Irak)," ujarnya.
Maliki mengatakan pada Oktober lalu, bahwa Irak tak ingin menjadi bagian dari monopoli negara lain. Meski demikian, ia menghadapi kritik dari lawan politik yang mempertanyakan pembelian senjata dari Rusia. Padahal saat itu kesepakan jual beli dengan AS telah ditandatangani.
Penasihat Perdana Menteri Irak, Ali Al-Moussawi mengatakan, Irak harus menjalin kontrak baru dengan Rusia. Pasalnya, Irak masih sangat membutuhkan pasokan senjata.
"Kami masih memerlukan senjata sehingga kami akan menegosiasikan kontrak baru. Ini adalah tindakan pencegahan karena dugaan korupsi," tuturnya.
Kesepakatan jual beli senjata termasuk helikopter dan rudal tersebut seharusnya dijadwalkan teken pada bulan Oktober pasca pertemuan Maliki dan Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev. Jika kesepakatan tersebut sesuai rencana, maka Rusia yang memang menjadi pemasok utama senjata Irak sejak era Saddam Hussein tersebut akan menjadi negara pemasok senjata terbesar kedua setelah AS.
Anggota Parlemen Irak mengatakan, kesepakatan pembelian senjata tersebut dibutuhkan untuk memerangi terorisme. Meskipun demikian, dalam kesepakatan dengan Rusia, menurutnya tak termasuk helikopter tempur jenis 30 Mi-28 seperti yang dikabarkan.
Irak tengah membangun kembali angkatan bersenjata sejak AS invasi Irak tahun 2003 lalu untuk menjatuhkan rezim Saddam Hussein. Sejak Saddam Hussein digulingkan, Irak masih belum memiliki angkatan udara.
Kebutuhan akan pesawat menjadi fokus Irak untuk operasi pertahanan wilayah udara dan perbatasan. Menurut surat kabar Vedomosti Rusia, penawaran perdagangan Rusia termasuk diantaranya 30 helikopter tempur Mi-28 NE dan 42 peluncur roket.